Kamis, 21 November 2013

Disinilah aku, duduk sendiri dalam lamunan ku yang tak pernah berubah. Disaat mahasiswa lain sedang asik bercengkrama satu sama lain, aku lebih memilih duduk sendiri di bangku taman kampus berlindungkan pohon yang rindang dari teriknya matahari.

Andai aku mampu mengendalikan arah lamunanku, tak ingin aku terus tenggelam dalam harapan yang bahkan aku yakini persentasinya hampir menyentuh angka bundar sebelum angka satu.




             Sudah lama aku tersesat dalam sebuah labirin yang begitu luas di tempat yang kecil, mungkin inilah yang orang sebut dengan labirin hati. Yang aku takutkan, tak mampu aku menemukan jalan keluar untuk bergerak meninggalkan sepercik kenangan yang masih terkubur menjadi harta dalam labirin yang luas ini.

          Masih terkenang dengan indahnya sebuah senyuman yang melukis kata “Cinta” di dalam hati, walaupun kini aku tau semua hanyalah sebatas ilusi.

             3 tahun yang lalu setelah hari kelulusan itu, tak pernah lagi ku lihat paras cantiknya yang menghiasi alam fikir dan jiwa. Andai saja saat itu aku lebih berani untuk mengungkapkan sebuah kejujuran yang ku miliki. Mungkin aku tak akan tersesat sendiri dalam labirin ini.

            Inilah aku dengan rahasiaku, yang hingga kini dia pun tak tau. Ingin aku menemuinya, melihatnya sekali lagi dan mengutarakan setiap bagian kecil di hati ini. Namun apa daya, keberadaannya saja aku tak tau dimana?

            Terakhir ku ingat dia bergandengan tangan dengan seorang lelaki gagah yang aku fikir memang pantas mendampinginya. Tapi entahlah, mungkin kini ia masih tetap bersamanya, atau mungkin kini ia telah dengan yang lain.

             Tapi doa ku selalu tercurah untuk kemungkinan ketiga, jika benar saat ini ia tak ada yang memiliki, maka ku harap Tuhan mau menjagakannya untukku. Hingga suatu hari nanti kami akan dipertemukan kembali dengan jalan terbaik dalam hidup kami.

           Jika diizinkan untuk bertanya, mungkin seluruh kata tanya akan tercurah dari bibirku. Bertanya dan bertanya namun tetap saja jawaban tiada hadir jua.

            Masih teringat jelas dalam benakku sosoknya yang anggun dibalik seragam putih abu-abu yang ia kenakan. Rambutnya yang tergerai indah melengkapi keindahan yang terpancar dari wajahnya. Oh Tuhan, tolong pertemukan aku sekali lagi dengan bidadari yang Kau ciptakan di dunia yang hampa ini.

         Dulu, setiap ada kesempatan, sering mata ini hilang kendali memandanginya. Menatap senyumnya yang menggetarkan hati, membuatku serasa hidup dalam surga yang dihiasi dengan kata “Cinta”.

          Mengingat kelasku yang berseberangan dengan kelasnya, tak sulit bagiku untuk sedikit mencuri pandangan padanya. Bahkan dalam pelajaran sekalipun, jika ada kesempatan ku lirik ruang kelasnya dengan harapan sesosok bidadari akan keluar dari mulut pintu kayu kelabu itu.

           Sejak aku mengenal siapa dia, sengaja aku berpindah duduk di dekat dinding berjendela kaca yang menjadi media ku mengagumi dirinya. Namun sangat dramatis diriku ini, jika ada satu kata yang pantas ku terima maka itu adalah “Pecundang”.

            Sangat miris mengingat bahwa aku mengenalnya sementara ia tak tau bahwa ada seorang yang setiap hari memandangi dirinya. Aku tau banyak hal tentang dirinya, terlebih biodata dan kesukaannya, tapi itu bukanlah buah dari perkenalanku atau pembicaraanku dengannya.

            Semua itu tak lebih dari usahaku sendiri, yang diam-diam mencuri sedikit demi sedikit informasi tentang dirinya. Banyak media yang bisa memberikanku semua itu, baik dari pembicaraan teman-temannya, ataupun dari jejaring sosial yang ia gunakan.

            Aku tau nama facebooknya namun tak pernah ku sentuh tombol “Add friend” yang ada diprofilnya, begitu pula username twitternya, akan tetapi nyaliku terlalu kecil untuk mem-follow bidadari secantik dirinya.

Cukuplah aku menjadi seorang stalker nya yang selalu setia melihat kalimat demi kalimat yang ia utarakan. Terlebih lagi hati ini akan terasa bergejolak, setiap kali ia mem-publish foto cantiknya sehingga dapat ku kagumi dengan puasnya.

Saat yang paling aku nantikan adalah saat dimana dia keluar meninggalkan kelasnya. Kedua bola mataku langsung tertuju padanya, mengintai dari balik kaca jendela. Entah mengapa jiwaku tiba-tiba berguncang tak karuan kala ku tatap dia berjalan dengan tenang pergi meninggalkan kelasnya.

Itu mungkin karena ku pandang bibir tipisnya yang merah dan selalu basah, yang melengkapi senyumnya dan lesung pipitnya yang begitu manis, serta matanya yang indah itu. Oh Tuhan, sungguh begitu menakjubkan seakan-akan mengajaku tenggelam ke dalam keindahanya.

Tak jarang aku ditegur oleh guru hanya karena terpasona oleh paras cantiknya, terutama ketika pelajaran matematika. Guru killer itu memanggilku tukang melamun, padahal ia tak tau bahwa ada bidadari diseberang sana yang mencuri perhatianku.

Rian tolong perhatikan ibu jika ibu sedang menerangkan!” ucap ibu Leli dengan lantangnya padaku.

Kata-kata tersebut seakan memaksaku untuk memalingkan pandanganku dari dia. Sungguh berat rasaku melakukannya namun tak berdaya juga aku melawan kata-kata itu.

“Iya bu!” jawabku penuh keterpaksaan.

Ku tundukan kepala ke arah meja kayu yang penuh akan coretan-coretan yang tak pernah aku ketahui siapa pengarangnya. Temanku pernah bilang coretan-coretan ini adalah warisan leluhur dari pelajar terdahulu. Tugas kami hanyalah menjaga dan melestarikannya.

Ketika bell istirahat telah berbunyi, bu Leli pun terpaksa mengakhiri pelajaran matematikanya kali ini. para siswa ada yang sebagian pergi keluar kelas

“Rian kekantin yuk!” ajak Aldo, teman sebangku ku

“Ayo..! aku juga lagi haus nih”

            Kami melangkahkan kaki menuju kantin dengan rasa lega menyadari bahwa jam matematika telah berakhir. Saat berjalan menuju kantin tak ku sangka aku akan bertemu dengan dia. Kepalaku seakan dihujani balok es yang tebal. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang bagaikan tabu drum yang dipukul dengan cepatnya.

Kala melihat dia berjalan ke arahku dan dia menatap wajahku. Mataku seakan tak henti-hentinya memandangi paras cantiknya dan rambutnya yang ia biarkan jatuh bergeraian di keningnya yang menambah elok parasnya bagaikan bidadari surgawi yang jatuh ke bumi.

Jarak antara dia dan aku semakin dekat, mungkin hanya sekitar tiga atau dua meter saja. Di dalam otak ku sudah terencana untuk menyapanya, namun lidahku seakan sudah mencapai titik bekunya, seakan terasa begitu beku dan begitu sulit untuk menyebut namanya dan pada akhirnya hanyalah senyum yang dapat aku layangkan padanya sebagai isyarat cintaku padanya.

Tak ku duga dia juga melemparkan senyuman padaku sembari berjalan berpapasan dengan tubuhku. Darahku terasa terpompa begitu keras dan mengalir begitu cepatnya dari ujung kaki ke ujung kepala ketika ku lihat senyumnya yang manis itu.

Tersadar aku dari lamunan panjangku, yang telah membawaku hanyut dalam indahnya masa lalu. Tapi masa lalu hanyalah sebuah sejarah yang tak mungkin terulang kedua kali.

Terkadang penyesalan menghantui diriku, kenapa dulu aku begitu takut untuk mengatakan kalimat istimewa itu padanya. Jika saja, waktu dapat berputar terbalik, ingin ku kembali pada masa itu.

Ku yakinkan diriku sendiri dan memberanikan untuk datang menghampirinya. Menyapa namanya dan mengajaknya berkenalan. Namun itulah khayalan, sungguh mudah dibayangkan, tapi realitanya sangat sulit dilakukan.

Mengingat bahwa jam kuliah akan segera dimulai. Ku raih tas ku yang ku letak tak jauh dari posisi duduk ku, ku pakai dan segera aku berdiri, perlahan dan tenang melangkah maju menuju gedung putih berpadu biru.

Aku sadar bahwa perasaanku ini masih tak berubah, bertahun-tahun menjadi pemuja rahasia tak membuatku jera. Setiap kali ku coba menghapus bayangannya, semakin jelas wajahnya tergambar dibenakku.

Entah mengapa aku percaya, dengan kalimat “jodoh pasti bertemu jua”. Hanya itulah satu-satunya harapanku yang tersisa dari-Mu, wahai Tuhan Sang Pemilik Cinta.

Setibanya aku diruangan yang luas berisikan manusia yang disibukkan dengan omongan semata, ku letakkan tas ku di atas meja plastik yang terhubung dengan kursi besi beralaskan busa yang dibaluti kulit berwarna hitam.

Kembali ku diam dan mencoba menghayalkan tentangnya, namun belum sempat aku berhasil menciptakan gambaran indah tentangnya dalam otak ku. Dosen segera masuk, beriringan dengan pria berjas hitam dengan dasi merah darah.

“Siang semua, hari ini akan ada mahasiswa baru yang akan bergabung dengan kalian.” Pak Rektor menyampaikan informasinya.

            Aku tak terlalu memperhatikannya, namun aku terpaku dan membeku seperti es dari kutub utara yang butuh waktu lama untuk mencairkannya. Jantungku berdebar dengan cepatnya, darahku mengalir dengan derasnya. Mata ku, mata ku seolah buta akan dunia.

            Melihat sosok wanita cantik yang berdiri dengan anggun disampingnya. Senyuman manis itu yang mampu menghayutkan jiwaku, tatapan itu yang mampu melelehkan hatiku.



Hanya satu kata yang terucap dalam hati ku.


“DIA !!!

Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

2 komentar: