Disinilah aku,
duduk sendiri dalam lamunan ku yang tak pernah berubah. Disaat mahasiswa lain
sedang asik bercengkrama satu sama lain, aku lebih memilih duduk sendiri di
bangku taman kampus berlindungkan pohon yang rindang dari teriknya matahari.
Andai aku mampu
mengendalikan arah lamunanku, tak ingin aku terus tenggelam dalam harapan yang
bahkan aku yakini persentasinya hampir menyentuh angka bundar sebelum angka satu.
Sudah lama aku tersesat dalam sebuah labirin yang begitu luas di tempat yang kecil, mungkin inilah yang orang sebut dengan labirin hati. Yang aku takutkan, tak mampu aku menemukan jalan keluar untuk bergerak meninggalkan sepercik kenangan yang masih terkubur menjadi harta dalam labirin yang luas ini.
Masih terkenang dengan indahnya sebuah senyuman yang melukis kata “Cinta” di dalam hati, walaupun kini aku tau semua hanyalah sebatas ilusi.
3 tahun yang lalu setelah hari kelulusan itu, tak pernah lagi ku lihat paras cantiknya yang menghiasi alam fikir dan jiwa. Andai saja saat itu aku lebih berani untuk mengungkapkan sebuah kejujuran yang ku miliki. Mungkin aku tak akan tersesat sendiri dalam labirin ini.
Inilah
aku dengan rahasiaku, yang hingga kini dia pun tak tau. Ingin aku menemuinya, melihatnya
sekali lagi dan mengutarakan setiap bagian kecil di hati ini. Namun apa daya,
keberadaannya saja aku tak tau dimana?
Terakhir
ku ingat dia bergandengan tangan dengan seorang lelaki gagah yang aku fikir memang
pantas mendampinginya. Tapi entahlah, mungkin kini ia masih tetap bersamanya, atau
mungkin kini ia telah dengan yang lain.
Tapi
doa ku selalu tercurah untuk kemungkinan ketiga, jika benar saat ini ia tak ada
yang memiliki, maka ku harap Tuhan mau menjagakannya untukku. Hingga suatu hari
nanti kami akan dipertemukan kembali dengan jalan terbaik dalam hidup kami.
Jika
diizinkan untuk bertanya, mungkin seluruh kata tanya akan tercurah dari
bibirku. Bertanya dan bertanya namun tetap saja jawaban tiada hadir jua.
Masih
teringat jelas dalam benakku sosoknya yang anggun dibalik seragam putih abu-abu
yang ia kenakan. Rambutnya yang tergerai indah melengkapi keindahan yang
terpancar dari wajahnya. Oh Tuhan, tolong pertemukan aku sekali lagi dengan
bidadari yang Kau ciptakan di dunia yang hampa ini.
Dulu,
setiap ada kesempatan, sering
mata ini hilang kendali memandanginya. Menatap senyumnya yang menggetarkan
hati, membuatku serasa hidup dalam surga yang dihiasi dengan kata “Cinta”.
Mengingat
kelasku yang berseberangan dengan kelasnya, tak sulit bagiku untuk sedikit
mencuri pandangan padanya. Bahkan dalam pelajaran sekalipun, jika ada
kesempatan ku lirik ruang kelasnya dengan harapan sesosok bidadari akan keluar
dari mulut pintu kayu kelabu itu.
Sejak
aku mengenal siapa dia, sengaja aku berpindah duduk di dekat dinding berjendela
kaca yang menjadi media ku mengagumi dirinya. Namun sangat dramatis diriku ini,
jika ada satu kata yang pantas ku terima maka itu adalah “Pecundang”.
Sangat
miris mengingat bahwa aku mengenalnya sementara ia tak tau bahwa ada seorang
yang setiap hari memandangi dirinya. Aku tau banyak hal tentang dirinya,
terlebih biodata dan kesukaannya, tapi itu bukanlah buah dari perkenalanku atau
pembicaraanku dengannya.
Semua
itu tak lebih dari usahaku sendiri, yang diam-diam mencuri sedikit demi sedikit
informasi tentang dirinya. Banyak media yang bisa memberikanku semua itu, baik
dari pembicaraan teman-temannya, ataupun dari jejaring sosial yang ia gunakan.
Aku
tau nama facebooknya namun tak pernah ku sentuh tombol “Add friend” yang ada diprofilnya, begitu pula username twitternya, akan tetapi nyaliku terlalu kecil untuk mem-follow bidadari secantik dirinya.
Cukuplah aku
menjadi seorang stalker nya yang
selalu setia melihat kalimat demi kalimat yang ia utarakan. Terlebih lagi hati
ini akan terasa bergejolak, setiap kali ia mem-publish foto cantiknya sehingga dapat ku kagumi dengan puasnya.
Saat yang paling
aku nantikan adalah saat dimana dia keluar meninggalkan kelasnya. Kedua bola
mataku langsung tertuju padanya, mengintai dari balik kaca jendela. Entah
mengapa jiwaku tiba-tiba berguncang tak karuan kala ku tatap dia berjalan
dengan tenang pergi meninggalkan kelasnya.
Itu mungkin
karena ku pandang bibir tipisnya yang merah dan selalu basah, yang melengkapi
senyumnya dan lesung pipitnya yang begitu manis, serta matanya yang indah itu. Oh
Tuhan, sungguh begitu menakjubkan seakan-akan mengajaku tenggelam ke dalam
keindahanya.
Tak jarang aku
ditegur oleh guru hanya karena terpasona oleh paras cantiknya, terutama ketika
pelajaran matematika. Guru killer itu
memanggilku tukang melamun, padahal ia tak tau bahwa ada bidadari diseberang sana yang mencuri
perhatianku.
“Rian tolong perhatikan ibu jika ibu
sedang menerangkan!” ucap ibu Leli dengan lantangnya padaku.
Kata-kata
tersebut seakan memaksaku untuk memalingkan pandanganku dari dia. Sungguh berat
rasaku melakukannya namun tak berdaya juga aku melawan kata-kata itu.
“Iya bu!” jawabku penuh keterpaksaan.
Ku tundukan
kepala ke arah meja kayu yang penuh akan coretan-coretan yang tak pernah aku
ketahui siapa pengarangnya. Temanku pernah bilang coretan-coretan ini adalah
warisan leluhur dari pelajar terdahulu. Tugas kami hanyalah menjaga dan
melestarikannya.
Ketika bell
istirahat telah berbunyi, bu Leli pun terpaksa mengakhiri pelajaran
matematikanya kali ini. para siswa ada yang sebagian pergi keluar kelas
“Rian kekantin yuk!” ajak Aldo, teman sebangku ku
“Ayo..! aku juga lagi haus nih”
Kami
melangkahkan kaki menuju kantin dengan rasa lega menyadari bahwa jam matematika
telah berakhir. Saat berjalan menuju kantin tak ku sangka aku akan bertemu
dengan dia. Kepalaku seakan dihujani balok es yang tebal. Jantungku tiba-tiba
berdetak lebih kencang bagaikan tabu drum
yang dipukul dengan cepatnya.
Kala melihat dia
berjalan ke arahku dan dia menatap wajahku. Mataku seakan tak henti-hentinya
memandangi paras cantiknya dan rambutnya yang ia biarkan jatuh bergeraian di
keningnya yang menambah elok parasnya bagaikan bidadari surgawi yang jatuh ke
bumi.
Jarak antara dia
dan aku semakin dekat, mungkin hanya sekitar tiga atau dua meter saja. Di dalam
otak ku sudah terencana untuk menyapanya, namun lidahku seakan sudah mencapai
titik bekunya, seakan terasa begitu beku dan begitu sulit untuk menyebut
namanya dan pada akhirnya hanyalah senyum yang dapat aku layangkan padanya
sebagai isyarat cintaku padanya.
Tak ku duga dia
juga melemparkan senyuman padaku sembari berjalan berpapasan dengan tubuhku.
Darahku terasa terpompa begitu keras dan mengalir begitu cepatnya dari ujung
kaki ke ujung kepala ketika ku lihat senyumnya yang manis itu.
Tersadar aku
dari lamunan panjangku, yang telah membawaku hanyut dalam indahnya masa lalu.
Tapi masa lalu hanyalah sebuah sejarah yang tak mungkin terulang kedua kali.
Terkadang
penyesalan menghantui diriku, kenapa dulu aku begitu takut untuk mengatakan
kalimat istimewa itu padanya. Jika saja, waktu dapat berputar terbalik, ingin
ku kembali pada masa itu.
Ku yakinkan
diriku sendiri dan memberanikan untuk datang menghampirinya. Menyapa namanya
dan mengajaknya berkenalan. Namun itulah khayalan, sungguh mudah dibayangkan,
tapi realitanya sangat sulit dilakukan.
Mengingat bahwa
jam kuliah akan segera dimulai. Ku raih tas ku yang ku letak tak jauh dari
posisi duduk ku, ku pakai dan
segera aku berdiri, perlahan dan tenang melangkah maju menuju gedung putih
berpadu biru.
Aku sadar bahwa perasaanku
ini masih tak berubah, bertahun-tahun menjadi pemuja rahasia tak membuatku
jera. Setiap kali ku coba menghapus bayangannya, semakin jelas wajahnya
tergambar dibenakku.
Entah mengapa
aku percaya, dengan kalimat
“jodoh pasti bertemu jua”. Hanya itulah satu-satunya harapanku yang tersisa
dari-Mu, wahai Tuhan Sang Pemilik Cinta.
Setibanya aku
diruangan yang luas berisikan manusia yang disibukkan dengan omongan semata, ku
letakkan tas ku di atas meja plastik yang terhubung dengan kursi besi
beralaskan busa yang dibaluti kulit berwarna hitam.
Kembali ku diam
dan mencoba menghayalkan tentangnya, namun belum sempat aku berhasil
menciptakan gambaran indah tentangnya dalam otak ku. Dosen segera masuk,
beriringan dengan pria berjas hitam dengan dasi merah darah.
“Siang semua, hari ini akan ada
mahasiswa baru yang akan bergabung dengan kalian.” Pak Rektor menyampaikan
informasinya.
Aku
tak terlalu memperhatikannya, namun aku terpaku dan membeku seperti es dari
kutub utara yang butuh waktu lama untuk mencairkannya. Jantungku berdebar
dengan cepatnya, darahku mengalir dengan derasnya. Mata ku, mata ku seolah buta
akan dunia.
Melihat
sosok wanita cantik yang berdiri dengan anggun disampingnya. Senyuman manis itu
yang mampu menghayutkan jiwaku, tatapan itu yang mampu melelehkan hatiku.
Hanya satu kata yang terucap
dalam hati ku.
“DIA !!!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus