Rabu, 01 Januari 2014



                Aku terhenyak untuk waktu yang lama. Kulihat dia masih saja menangis dalam pelukanku. Dia terlihat begitu kuatir, namun aku tak tau apa yang membuatnya kuatir. Bajuku seketika basah. Dia semakin larut dalam tangisannya. Dan lagi lagi, aku tak mampu membendung air mataku, melihatnya seperti itu.

                “Ru, apa yang kau kuatirkan? Tak sedikitpun cintaku memudar kepadamu”, isakku.

                Dia hanya diam. Pandangannya nanar kearah piano didekat kami duduk tersebut. Aku jadi teringat saat dimana aku memainkan sebuah melodi indah karyaku, dengan piano tersebut, hanya untuknya. Hari itu adalah hari yang cerah, sama seperti hari ini. Aku masih bisa mengingat wajah bahagiannya, saat kami bercanda ria di ruangan yang manis itu.

                Namun, suasananya berbeda saat ini. Yang ada hanya keheningan. Ntah apa yang menyebabkanya pun aku tidak tahu.  Tapi, itu tidak terlalu penting untuk saat ini.

                Yang terpenting hanyalah bagaimana caranya agar dia, mampu tersenyum lagi kepada dunia yang telah dia anggap begitu kelabu ini.

                Aku melepaskan pelukanku perlahan darinya. Wajahnya, masih saja basah karena tangisan. Dia menatapku hampa. Aku berdiri, menggenggam tangannya, dan mengecup keningnya. Tak ada tangapan darinnya. Dia hanya kembali terkulai lemas di sofa itu, dan pandangannya masih saja ke arah piano itu.

                Aku meninggalkannya, bergegas ke arah piano yang beruntung, masih medapatkan tatapan indahnya itu. Aku duduk, terdiam sejenak. Kuambil nafas dalam, dan ku mulai memainkan melodi yang pernah kumainkan hanya untuknya, karyaku tersebut.

                Kulirik dia, wajahnya kini datar, mendengar dentingan tersebut. Lagi lagi dia menangis. Aku tak kuasa melihatnya seperti itu.

                Aku berhenti sejenak. Aku mulai mainkan lagi, dan kali ini aku memainkannya sambil mengatakan, apa yang tulus keluar dari hatiku, megharmonisasikannya dan mulai terdengar seperti sebuah lagu.

Saat kau terjaga, aku juga akan selalu terjaga
Bahkan sekalipun kau terlelap, aku masih akan tetap terjaga
Kau tahu kenapa?
Karna kau lah orang yang kucinta

Nafasku akan berhenti, disaat nafasmu kelak berhenti
Jujur, bukannya aku terlalu berlebih
Hanya saja, kau begitu berarti

Kau akan selalu menjadi renunganku
Menjadi siang dan malamku

Kau tahu, cara membuatku merasa bahwa aku memiliki hati
Jadi, jika kau bertanya padaku kapan aku akan meninggalkanmu sendiri
Kupastikan, itu tak akan pernah terjadi

                Kuakhiri permainanku. Kupalingkan wajahku ke dia. Wajahnya masih saja sama seperti diawal tadi. Aku beranjak, berjalan perlahan kearahnya. Aku berlutut didepannya, dan menggenggam tangannya. Kami bertatapan. Dia mengecup keningku. Kembali kurasakan getaran hangat itu telah kembali ke tubuh ini, getaran yang selama ini tak bisa kudapat, saat dia tidak ada disisiku.

                Kami kembali bertatapan, dan dia tersenyum kepadaku. Aku meninggalkan dunia untuk seketika. Itu adalah senyum pertamanya, setelah lama tak jumpa. Aku memeluknya erat.

                Semua tak kan berubah, semua akan terasa sama.”, bisikku.

                Dia mengangguk kecil. Aku sangat senang melihatnya seperti itu. Aku kembali duduk disampingnya, dan dia rebahan dalam pelukanku. Suasana kembali hening.

                Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari, dia telah tertidur. Cahaya remang diruangan itu lebih dari cukup untuk aku bisa menatap indahnya wajahnya yang mulai terlihat kembali ceria seperti sediakala.

                Aku terus manatapnya sampai aku menyadari bundanya Ruru telah berdiri dipintu ruangan tersebut.

                “Tolong bawa Lia kekamarnya dong, Sak”, ucapnya ramah.

                “Iya, Tante”, jawabku.

                     Aku menggendongnya dengan sangat hati hati, dan membawanya ke sebuah kamar yang penuh dengan nuansa pink, tak jauh dari ruangan tersebut. Aku meletakkannya di tempat tidur dengan perlahan, dan menyelimutinya.

                Sebuah kecupan hangat diubun ubunnya membawaku pergi dari ruangan itu, bergegas pulang.

            “Sak, ada waktu? Tante mau bicara”, kata bundanya Ruru mengagetkanku dari pintu kamar tersebut.

                “I..ya Tante, ada apa?”, jawabku gugup.

                “Begini”, bukanya sambil mulai menitikkan air mata. “Umur Lia gak akan lama lagi. Memang, kemarin kami sudah ke Jerman untuk cangkok jantung. Namun, jantung barunya ternyata juga bermasalah. Butuh waktu yang lama lagi, untuk mencari jantung baru untuknya. Dan, kata dokter yang menanganinya, jantung yang sekarang berdetak di dada Lia, tak mampu menahan kehidupannya selama itu. Gak lama lagi, Lia akan lewat, Sak.”, jelasnya.

                Mendengar itu, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirku. Hatiku teriris, sakit. Aku menangis di depan bundanya Ruru.

                “Kamu cinta dia kan, Sak?”, sambungnya.

Aku hanya mengangguk kecil.
                
              “Kalau gitu, buatlah detik detik di akhir hidupnya menjadi saat paling membahagiakan yang pernah dia rasakan”, kata bundannya Ruru sambil tersenyum datar kepadaku, seolah mencoba menutupi bahwa hatinya juga sangat hancur menghadapi kenyataan dia akan kehilangan anaknya yang bak bidadari dari surga, indah dan sempurna.

Bundanya Ruru mengelus pundakku, kemudian pergi meninggalkanku. Terdengar olehku isak tangisannya. Aku hanya berdiri terpaku, mencoba tegar mengahadapi kenyataan ini.

0 komentar:

Posting Komentar