Aku
merasa sangat lelah, namun aku tak bisa tertidur. Aku terjaga satu malaman
hanya karena satu hal, hari ini adalah hari dimana aku dan Ru tepat tiga bulan
berhubungan. Aku tak percaya, aku tidak merayakan bulan jadiku dengannya untuk
yang kedua.
Aku
juga kawatir, akan kesehatannya. Sebulan lebih dia di Jerman, lewat dari
perkiraan awalnya.
“Apa
yang terjadi dengannya? Apakah dia baik baik saja?”, tanyaku dalam hati.
Aku
meraih jam weker Winnie The Pooh ku.
“Ah,
hadiah pertama ku darinya, tepat di satu bulan kami jadian”, kenangku.
Kulihat
jam telah menunjukkan pukul 5.30. Aku telah menunggu pesan darinya, dari pukul
00.00, dan sampai sekarang, hasilnya masih nihil. Tak ingin begitu terlarut,
akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari samudera kapukku. Aku berjalan
nyeret menuju wastafel yang letaknya bersebelahan dengan kamarku.
Ternyata cukup banyak orang
yang telah mendahuluiku menyongsong sang fajar, maklum ini hari minggu. Aku menikmati
lari kecilku ini, sambil memutar lagu Muse yang Unintended di i-podku.
Setengah jam berlari disekitar
komplekku, aku memutuskan untuk istirahat sembari sarapan di lapakknya bang
Acing, seorang penjual bubur ayam yang sering mangkal didepan kompek, disebelah
pos satpam. Kelezatannya pun sudah banyak yang mengakui. Sarapan di lapak bang
Acing pun telah menjadi ritualku setiap
kali jogging.
“Bang, buburnya satu. Ayam
sama kerupuknya banyakin, telurnya dobel, kecap asin dan sambelnya dipisah, terus
gak usah pake kacang sama cakwe ya”, pesanku panjang.
Bang Acing selalu tersenyum
setiap kali aku memesan karena banyaknya permintaanku itu.
“Oke deh Nisak, duduk dulu.
Gak nge-teh?”, tawarnya.
“Oh, iya. Lupa. The manis
angetnya satu ya, manis ya bang”, jawabku sambil tertawa.
Aku menikmati waktuku dipagi
itu. Lima menit
menunggu, pesananku pun datang. Aku memulainya dengan meneguk teh, kemudian
menyantap buburnya.
“Wuih, gile nikmat bang!”,
teriakku.
Bang
Acing tersenyum. Aku
melanjutkan menyantap bubur tersebut dengan lahap. Saat sedang asik
asiknya menikmati bubur, aku mendengar sebuah nada yang tak asing lagi.
Nokia Tune! Ternyata berasal dari sakuku. Aku mengambilnya, ada satu
pesan masuk.
"Sial, siapa sih pagi pagi nge-sms?", gerutuku.
Gerutuku
hilang seketika, berubah menjadi senang bercampur tak percaya. Pesan
tersebut dari Ru. Aku membacanya dengan hati yang tak karuan.
"Happy
anniversary sayang! Aku uda di Indonesia, semalam nyampenya. Aku baru
kabarin sekarang karena aku kecapaian semalam. Main dong kerumah,
kutunggu ya :)", itulah isi pesan singkat dari Ru.
Dengan
semangatnya aku menyiapkan sarapanku, bergegas langsung kerumah Ru,
tentunya setelah membayar ke bang Acing. Baju yang bau keringat ini pun
tak kuhiraukan lagi, yang kupikirkan hanyalah bagaimana supaya aku bisa
bertemu dengannya secepat mungkin.
Rumahnya
Ru cukup jauh, berada di ujung jalan depan komplek rumahku. Tapi aku
tak peduli. Aku berlari dari lapaknya bang Acing, secepat mungkin.
Diperjalanan, aku empat merasa mual, karena aku baru saja menyelesaikan
sarapanku, namun semua itu kuhiraukan.
Akhirnya, ku telah tiba
didepan rumah Ru. Jantungku berdegup kencang, seakan tak percaya aku akan
bertemu lagi dengannya. Hati yang tak sabar ini pun, mamaksa tanganku untuk
meraih pagar kayu coklat itu. Suara decitan khasnya pun kudengan, cukup keras.
Kulangkahkan
kakiku dijalan setapak. Rumah Ru memang sangat asri. Bundanya adalah seorang
yang menyukai tanaman. Halaman rumahnya yang luas ini pun penuh dengan tataan
rapi tanaman penyejuk hati tersebut.
Ditambah lagi
ayahnya yang merupakan seorang designer, telah merancang rumah yang sangat
istimewa. Halamanya sangat kental dengan nuansa eropa klasik. Pancuran air, lampu, taman kecil, bahkan pagar yang
baru saja kubuka dan jalan yang baru saja kutapaki pun turut menunjang keindahan
rumah tersebut.
Aku telah
sampai di depan pintu. Saat ini, yang menghalangiku untuk bertemu dengan ru
tinggalah sebuah pintu tua berwarna coklat dengan gagang kuningan itu. Tidak
ada bel disana, yang ada hanyalah lonceng kecil, yang sepertinya juga terbuat
dari kuningan. Aku membunyikannya.
Tak lama
kemudian, bik Eni, pembantu dirumahnya Ru pun keluar.
“Eh, nak
Nisak. Mau ketemu sama neng Lia ya?”, tanyanya ramah.
Kebanyakan
orang memang memanggil gadis yang paling kucinta ini dengan sebutan Lia. Hanya
aku satu satunya yang memanggil dia Ru.
“Iya Bik, Ru
nya ada?”, jawabku.
“Oh ada ada.
Tapi lagi baringan di kamar. Nak Nisak masuk aja, duduk dulu. Ntar bibik
panggilkan neng Lianya”, kata bik Eni.
“Iya,
Bik”, jawabku sambil melangkahkan kakiku dirumah tersebut.
Aku
selalu terpukau dengan rumah yang merupakan bangunan belanda ini. Begitu aku
masuk saja, aroma khas kayu hutan eropa, yakni pinus dan cemara saja sudah
dapat kuhirup. Sangat segar. Interiornya juga sangat memukau. Lantai kayu,
perabot mewah, lukisan indah, dan masih banyak aksesoris lainnya, semua tertata
rapi, membuatku merasa telah berada dibagian kecil eropa.
Aku
duduk disebuah ruangan remang remang. Sumber cahaya diruangan itu hanyalah dari
teplok, diatur rapi didindingnya. Ada
perapian disana, dan didepan perapian tersebut, ada sebuah piano klasik, dengan
karpet khas kerjaan Inggris dibawahnya.
Aku
memutuskan untuk duduk disofa yang letaknya tak jauh dari piano tersebut.
Dibawahnya juga ada sebuah karpet merah, yang tak kalah memukau desainnya.
Mataku tak bisa berkedip, memandang hasil dari kejeniusan seorang designer yang
kukuh pada alirannya.
Asik mengagumi, aku tak sadar bahwa daritadi sudah ada seseorang yang berdiri didepan pintu ruangan tersebut.
"Ru?", ucapku pelan sambil menatap sosok itu.
Andai
saja aku mampu membendung air mataku, mungkin tidak akan mersak kesan pertama
setelah lama aku tak berjumpa dengannya. Namun, apa daya. Aku menangis. Aku
menangis dihadapannya.
Dia
terlihat berbeda. Badannya sangatlah kurus, hanya kulit pembalut tulang. Tidak
seperti Ru yang dulu dengan badannya yang proposional.
Namun,
bukan itu yang paling mengiris hatiku. Kulihat wajahnya sangat pucat, bibirnya
pecah pecah, matanya sayu. Bahkan untuk berdiri saja, dia masih gemetaran. Dia
mengenakan piyama ungu bergambarkan teddy bear, sangat lusuh dan berantakan.
Terlihat jelas, dia masih belum pulih. Bahkan dia terlihat lebih buruk dari
saat sebelum ia pergi. Itu yang membuatku hancur.
Kutatap
wajahnya, dia terlihat sedih. Aku sadar air mataku hanya bisa membuatnya sedih.
Aku segera mengusap air mataku, berdiri, dan menghampirinya. Aku telah berada
didepannya, kegenggam tangannya, sangat dingin kurasa. Dia menangis. Kuusap air
matanya, meskipun aku juga tak mampu membendung air mataku.
“Gak
apa Ru, semua akan baik baik saja. Tidak akan ada yang berubah”, isakku.
Dia
mengangguk. Aku menyentuh bibirnya, kasar kurasa. Tidak sama seperti saat dimana
aku dulu sering menyentuh bibirnya membersihkan dari es krim yang belepotan disana,
karena es krim adalah makanan favoritnya, dan dia selalu menyantapnya dengan
lahap.
Aku
genggam lagi tangannya, dan aku tatap matanya. Masih indah, bahkan diasat
sedang sayu sekalipun. Aku tak menyangka pertemuan ini akan menjadi hal yang
penuh air mata. Dia belum senyum sedikitpun kepadaku, padahal dulu, aku selalu
merasa terbang setiap kali melihat dia tersenyum.
Aku
dan Ru saling membisu. Kurangkul dia, ku papah dia, duduk di sofa tempat tadi
aku menunggunya. Dia masih tak mampu menghentikan tangisannya. Aku juga. Aku
merasa menjadi pria paling cengeng, tak tegar, tak mampu membuat orang yang
dicintai tersenyum. Aku merasa tak berguna. Aku hanya membuat Ru semakin sedih
saja.
“Bang
Nisak, aku cinta abang, aku sayang abang”, katanya dengan suara parau, parau
sekali dan terbata bata.
Terlihat
ia kesulitan berbicara. Namun, ia tetap berusaha mengatakannya, kalimat pertama
dari mulutnya yang kudengar setelah lama tak berjumpa. Aku semakin sedih.
Aku
merangkulnya
erat, mencium ubun ubunnya. Saat ini, aku mampu
menghirup aroma rambutnya langsung, karena ia memang tidak mengenakan
jilbab saat dirumah. Aku menghirup dalam, melampiaskan semua
kerinduanku kepadanya. Ruangan hening ini pun semakin hening karenanya.
“Aku
juga, Ru. Aku juga. Aku telah menunggumu sangat lama, aku sangat kangen
denganmu. Kini aku telah bertemu denganmu. Aku senang. Semua tidak akan pernah
berubah, termasuk cintaku. Tak ada yang perlu kau kawatirkan”, bisikku.
Kok sedih ya? Jadi gak sabar baca part 3 nya ;-(
BalasHapusmana part tiganya? uda siapin tisu nih ;(
BalasHapus