Jumat, 29 November 2013

            Aku merasa sangat lelah, namun aku tak bisa tertidur. Aku terjaga satu malaman hanya karena satu hal, hari ini adalah hari dimana aku dan Ru tepat tiga bulan berhubungan. Aku tak percaya, aku tidak merayakan bulan jadiku dengannya untuk yang kedua.

            Aku juga kawatir, akan kesehatannya. Sebulan lebih dia di Jerman, lewat dari perkiraan awalnya.

            “Apa yang terjadi dengannya? Apakah dia baik baik saja?”, tanyaku dalam hati.

            Aku meraih jam weker Winnie The Pooh ku.

            “Ah, hadiah pertama ku darinya, tepat di satu bulan kami jadian”, kenangku.

            Kulihat jam telah menunjukkan pukul 5.30. Aku telah menunggu pesan darinya, dari pukul 00.00, dan sampai sekarang, hasilnya masih nihil. Tak ingin begitu terlarut, akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari samudera kapukku. Aku berjalan nyeret menuju wastafel yang letaknya bersebelahan dengan kamarku.

            Kuraih facial foam ku, kubasuh ke mukaku yang lusuh. Kulihat dicermin, mataku berkantung. Terlihat cukup jelas. Aku meraih pasta gigi, ku sikat gigiku, dan dengan beberapa persiapan kecil lainnya, aku selesai. Aku kembali kekamar, mengambil training, sweater, i-pod, dan sepatu lariku, serta tidak lupa handphone N 6600 yang paling kusayangi ini. Aku memutuskan untuk jogging, untuk mengencerkan kebekuan dihatiku.


Ternyata cukup banyak orang yang telah mendahuluiku menyongsong sang fajar, maklum ini hari minggu. Aku menikmati lari kecilku ini, sambil memutar lagu Muse yang Unintended di i-podku.

Setengah jam berlari disekitar komplekku, aku memutuskan untuk istirahat sembari sarapan di lapakknya bang Acing, seorang penjual bubur ayam yang sering mangkal didepan kompek, disebelah pos satpam. Kelezatannya pun sudah banyak yang mengakui. Sarapan di lapak bang Acing pun  telah menjadi ritualku setiap kali jogging.

“Bang, buburnya satu. Ayam sama kerupuknya banyakin, telurnya dobel, kecap asin dan sambelnya dipisah, terus gak usah pake kacang sama cakwe ya”, pesanku panjang.

Bang Acing selalu tersenyum setiap kali aku memesan karena banyaknya permintaanku itu.

“Oke deh Nisak, duduk dulu. Gak nge-teh?”, tawarnya.

“Oh, iya. Lupa. The manis angetnya satu ya, manis ya bang”, jawabku sambil tertawa.

Aku menikmati waktuku dipagi itu. Lima menit menunggu, pesananku pun datang. Aku memulainya dengan meneguk teh, kemudian menyantap buburnya.

“Wuih, gile nikmat bang!”, teriakku.

Bang Acing tersenyum. Aku melanjutkan menyantap bubur tersebut dengan lahap. Saat sedang asik asiknya menikmati bubur, aku mendengar sebuah nada yang tak asing lagi. Nokia Tune! Ternyata berasal dari sakuku. Aku mengambilnya, ada satu pesan masuk.

"Sial, siapa sih pagi pagi nge-sms?", gerutuku.

Gerutuku hilang seketika, berubah menjadi senang bercampur tak percaya. Pesan tersebut dari Ru. Aku membacanya dengan hati yang tak karuan.

"Happy anniversary sayang! Aku uda di Indonesia, semalam nyampenya. Aku baru kabarin sekarang karena aku kecapaian semalam. Main dong kerumah, kutunggu ya :)", itulah isi pesan singkat dari Ru.

 Dengan semangatnya aku menyiapkan sarapanku, bergegas langsung kerumah Ru, tentunya setelah membayar ke bang Acing. Baju yang bau keringat ini pun tak kuhiraukan lagi, yang kupikirkan hanyalah bagaimana supaya aku bisa bertemu dengannya secepat mungkin.

Rumahnya Ru cukup jauh, berada di ujung jalan depan komplek rumahku. Tapi aku tak peduli. Aku berlari dari lapaknya bang Acing, secepat mungkin. Diperjalanan, aku empat merasa mual, karena aku baru saja menyelesaikan sarapanku, namun semua itu kuhiraukan.

Akhirnya, ku telah tiba didepan rumah Ru. Jantungku berdegup kencang, seakan tak percaya aku akan bertemu lagi dengannya. Hati yang tak sabar ini pun, mamaksa tanganku untuk meraih pagar kayu coklat itu. Suara decitan khasnya pun kudengan, cukup keras.
           
Kulangkahkan kakiku dijalan setapak. Rumah Ru memang sangat asri. Bundanya adalah seorang yang menyukai tanaman. Halaman rumahnya yang luas ini pun penuh dengan tataan rapi tanaman penyejuk hati tersebut.

Ditambah lagi ayahnya yang merupakan seorang designer, telah merancang rumah yang sangat istimewa. Halamanya sangat kental dengan nuansa eropa klasik. Pancuran air, lampu, taman kecil, bahkan pagar yang baru saja kubuka dan jalan yang baru saja kutapaki pun turut menunjang keindahan rumah tersebut.

Aku telah sampai di depan pintu. Saat ini, yang menghalangiku untuk bertemu dengan ru tinggalah sebuah pintu tua berwarna coklat dengan gagang kuningan itu. Tidak ada bel disana, yang ada hanyalah lonceng kecil, yang sepertinya juga terbuat dari kuningan. Aku membunyikannya.

Tak lama kemudian, bik Eni, pembantu dirumahnya Ru pun keluar.

“Eh, nak Nisak. Mau ketemu sama neng Lia ya?”, tanyanya ramah.

Kebanyakan orang memang memanggil gadis yang paling kucinta ini dengan sebutan Lia. Hanya aku satu satunya yang memanggil dia Ru.

“Iya Bik, Ru nya ada?”, jawabku.

“Oh ada ada. Tapi lagi baringan di kamar. Nak Nisak masuk aja, duduk dulu. Ntar bibik panggilkan neng Lianya”, kata bik Eni.

“Iya, Bik”, jawabku sambil melangkahkan kakiku dirumah tersebut.             

Aku selalu terpukau dengan rumah yang merupakan bangunan belanda ini. Begitu aku masuk saja, aroma khas kayu hutan eropa, yakni pinus dan cemara saja sudah dapat kuhirup. Sangat segar. Interiornya juga sangat memukau. Lantai kayu, perabot mewah, lukisan indah, dan masih banyak aksesoris lainnya, semua tertata rapi, membuatku merasa telah berada dibagian kecil eropa.

Aku duduk disebuah ruangan remang remang. Sumber cahaya diruangan itu hanyalah dari teplok, diatur rapi didindingnya. Ada perapian disana, dan didepan perapian tersebut, ada sebuah piano klasik, dengan karpet khas kerjaan Inggris dibawahnya.

Aku memutuskan untuk duduk disofa yang letaknya tak jauh dari piano tersebut. Dibawahnya juga ada sebuah karpet merah, yang tak kalah memukau desainnya. Mataku tak bisa berkedip, memandang hasil dari kejeniusan seorang designer yang kukuh pada alirannya.

Asik mengagumi, aku tak sadar bahwa daritadi sudah ada seseorang yang berdiri didepan pintu ruangan tersebut.

"Ru?", ucapku pelan sambil menatap sosok itu.

Andai saja aku mampu membendung air mataku, mungkin tidak akan mersak kesan pertama setelah lama aku tak berjumpa dengannya. Namun, apa daya. Aku menangis. Aku menangis dihadapannya.

Dia terlihat berbeda. Badannya sangatlah kurus, hanya kulit pembalut tulang. Tidak seperti Ru yang dulu dengan badannya yang proposional.

Namun, bukan itu yang paling mengiris hatiku. Kulihat wajahnya sangat pucat, bibirnya pecah pecah, matanya sayu. Bahkan untuk berdiri saja, dia masih gemetaran. Dia mengenakan piyama ungu bergambarkan teddy bear, sangat lusuh dan berantakan. Terlihat jelas, dia masih belum pulih. Bahkan dia terlihat lebih buruk dari saat sebelum ia pergi. Itu yang membuatku hancur.

Kutatap wajahnya, dia terlihat sedih. Aku sadar air mataku hanya bisa membuatnya sedih. Aku segera mengusap air mataku, berdiri, dan menghampirinya. Aku telah berada didepannya, kegenggam tangannya, sangat dingin kurasa. Dia menangis. Kuusap air matanya, meskipun aku juga tak mampu membendung air mataku.

“Gak apa Ru, semua akan baik baik saja. Tidak akan ada yang berubah”, isakku.

Dia mengangguk. Aku menyentuh bibirnya, kasar kurasa. Tidak sama seperti saat dimana aku dulu sering menyentuh bibirnya membersihkan dari es krim yang belepotan disana, karena es krim adalah makanan favoritnya, dan dia selalu menyantapnya dengan lahap.

Aku genggam lagi tangannya, dan aku tatap matanya. Masih indah, bahkan diasat sedang sayu sekalipun. Aku tak menyangka pertemuan ini akan menjadi hal yang penuh air mata. Dia belum senyum sedikitpun kepadaku, padahal dulu, aku selalu merasa terbang setiap kali melihat dia tersenyum.

Aku dan Ru saling membisu. Kurangkul dia, ku papah dia, duduk di sofa tempat tadi aku menunggunya. Dia masih tak mampu menghentikan tangisannya. Aku juga. Aku merasa menjadi pria paling cengeng, tak tegar, tak mampu membuat orang yang dicintai tersenyum. Aku merasa tak berguna. Aku hanya membuat Ru semakin sedih saja.

“Bang Nisak, aku cinta abang, aku sayang abang”, katanya dengan suara parau, parau sekali dan terbata bata.

Terlihat ia kesulitan berbicara. Namun, ia tetap berusaha mengatakannya, kalimat pertama dari mulutnya yang kudengar setelah lama tak berjumpa. Aku semakin sedih.

           Aku merangkulnya erat, mencium ubun ubunnya. Saat ini, aku mampu menghirup aroma rambutnya langsung, karena ia memang tidak mengenakan jilbab saat dirumah. Aku menghirup dalam, melampiaskan semua kerinduanku kepadanya. Ruangan hening ini pun semakin hening karenanya.


“Aku juga, Ru. Aku juga. Aku telah menunggumu sangat lama, aku sangat kangen denganmu. Kini aku telah bertemu denganmu. Aku senang. Semua tidak akan pernah berubah, termasuk cintaku. Tak ada yang perlu kau kawatirkan”, bisikku.


2 komentar: