Senin, 10 Februari 2014




   
     
   Dinda terus menangis di hadapanku, aku tak mampu meredahkan kesedihannya. Perbincangan kami tentang Nova terus membuatnya berlinang air mata. Aku sudah berikrar bahwa aku akan membuat Nova selalu ceria, walau sebenarnya ini hanya akan membohongi perasaan ku. Namun, ini semua adalah permintaan Dinda, setelah sekian lama kami tak bertegur sapa.

Cuaca mulai mendung dan gemuruh sudah mulai terdengar, aku menawari Dinda tumpangan pulang, tapi ia menolak ajakan ku. Oh yah, hampir aku lupa kalau ia punya tukang ojek pribadi yang dengan setia menjemputnya dimanapun dia berada.

Dinda mengambil telfon genggamnya, sementara ia sibuk menghubungi kekasihnya, aku terus memikirkan apa yang bisa ku perbuat untuk Nova. Aku hanya sekedar mengagumi kecantikannya. Itu saja...tidak lebih

”Kok gak di angkat sih..” ujar Dinda tiba-tiba.

            Aku terkejut dan melihat raut kekesalan di wajah Dinda.

”Kenapa Din? Kak Adi gak angkat telfon kamu yah?”
”Ntah nih Rev, gak biasa-biasanya dia gini.”
”Mungkin dia lagi sibuk kali Din, jam-jam segini kan emang masih waktu kuliah.”
”Iya, tapi seharusnya dia bilang ke aku, kan dia bisa SMS.”
”Yaudah lah Din, sebaiknya kamu pulang bareng aku aja, aku sekalian mau ke rumah Angga. Lagi pula cuaca sudah mulai gak bersahabat.”
”Enggak usah Rev, aku nunggu di sini aja. Kalau kamu mau pulang duluan, silahkan.”
”Oh gitu, yaudah yah Din, aku balik duluan.”

            Aku beranjak dari kursiku dan melangkah meninggalkan ruangan yang menjadi saksi bisu pertemuan ku dengan Dinda. Aku sangat menikmati setiap detikku bersamanya, namun tetap saja bayangan Nova menjadi topik pertemuan kami.

            Sebelum aku menyusuri tangga menuju lantai bawah caffe ini, sempat ku alihkan  wajahku untuk melihat Dinda yang duduk di pojokan kiri dekat jendela kaca yang sangat besar. Ia masih sibuk menghubungi tukang ojeknya, eh... maksud ku pacarnya, tapi mau apa lagi aku bukan siapa-siapa di bandingkan dengan lelaki bernama Adi itu.

            Adi~ yah begitulah nama yang ku dengar pertama kali berjabat tangan dengannya. 2 tahun lalu saat aku masih duduk di kelas 1 SMA, aku bergabung dengan sebuah organisasi yang mempertemukan aku dengan dia.

            Dia senior ku yang cukup ramah dan baik, saat itu aku belum mengenal Dinda. Jangan kan Dinda, bahkan aku tak mengenal siapa itu Angga, Deni, Riki, dan Daka? Yah saat pertama kali bersekolah di tempat ini, aku memang termasuk siswa yang penyendiri dan kurang pergaulan.

Aku masih melihat wanita cantik di pojokan kiri itu sibuk dengan Hp-nya, sampai tiba-tiba tetesan-tetesan air mulai menyerbu jendela kaca yang ada di dekatnya.

”Sudah hujan, sebaiknya aku bergegas” ujarku.

            Segera aku percepat langkahku turun menyusuri tangga, setalah sampai di lantai bawah aku hendak berjalan menuju pintu kaca yang akan membawaku keluar dari tempat ini. Akan tetapi langkahku terhenti dengan sebuah pemandangan yang membuat darahku mendidih.

            Kak Adi, dia disini!!! Dinda sudah menghubunginya sejak tadi, pantas saja dia tak mengangkat telfon Dinda. Dia tengah asik bermesraan dengan seorang wanita yang aku tak kenali. Kurang ajar, ternyata dia selingkuh di belakang Dinda.

            Dia duduk tak jauh dari pintu keluar, jika Dinda turun dan melihat ini dia pasti akan semakin sedih. Sudah cukup aku melihat air matanya yang berlinang tadi saat bersamaku.

            Sebenarnya bisa saja aku menghampiri bajingan itu dan memukulnya hingga babak belur di tempat ini. Namun aku lebih memikirkan perasaan Dinda yang pasti akan semakin terluka.

            Aku segera kembali ke arah tangga dan bergegas menghampiri Dinda. Dia masih duduk disana, tunggu... dia menangis!! Tapi kenapa? Dia duduk disana memandang keluar jendela yang sudah basah di penuhi tetesan hujan.

”Din, kamu gapapa kan?” sapa ku.
”Eh,.. Rev kamu belum pulang?” Jawabnya sambil menghapus air mata.
”Iya, hujannya terlalu deras, jadi aku putuskan untuk kembali menemanimu menunggu disini. Kamu kenapa nangis Din? Masih mikirin tentang Nova?”
”Oh itu... enggak kok Rev, aku memikirkan hal lain.”
”Kak Adi yah, Dia masih gak jawab telfon kamu?”
”Dia memang gak jawab telfon ku, tapi bukan itu yang membuat ku menangis.”
”Lalu apa Din?”
”Kamu gak perlu tau!! Sebaiknya kamu lebih memikirkan Nova.”
”Eee... iya Din, aku mengerti. Boleh aku duduk?”
”Silahkan.”

            Sial !! Aku gak bisa mengatakan pada Dinda tentang apa yang ku lihat di bawah tadi. Melihat kondisi hatinya saat ini, hal itu hanya akan membuat air matanya semakin deras. Dia duduk di depanku masih memandang ke arah jendela yang ada di samping kami.


            Aku hanya bisa diam dan menikmati setiap detik berharga ini bersamanya. Sudah lama sekali aku tak duduk bersamanya seperti saat ini, terakhir yang ku ingat adalah saat camping yang di adakan organisasi yang mempertemukan kami.

            Malam itu ia mengasingkan diri dari keramaian, ku beranikan diri duduk di sampingnya. Sementara teman-teman kami asik menikmati acara api unggun yang Deni dan Angga buat.

            Deni adalah ketua organisasi ini, wajar saja kalo dia yang mengatur semua jadwal acara. Dinda masih termenung di sampingku, langit malam yang berawan menutupi sinar rembulan, dia mulai bercerita tentang mantan kekasihnya yang meninggalkannya demi wanita lain.

            Aku hanya bisa mendengarkannya dan mencoba sedikit menghiburnya, dia mulai tersenyum saat aku memainkan gitar ku dan kami mulai bernyanyi bersama. Saat itu adalah moment paling romantis yang pernah ku lalui bersamanya.

”Rev, mau kan kamu menyanyikan lagu itu untukku?” ujarnya tiba-tiba.
”Lagu apa Din?” tanyaku bingung.
”Lagu yang kamu kirimkan padaku itu.”
”Kamu yakin Din?”

            Dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, walau sedikit ragu tapi tali jemariku dengan lihainya mulai memetik satu persatu senar pada gitar ku. Ku nyanyikan dengan lembut setiap liriknya.

”♪ Ku kan mencoba berbesar hati, melepas kau pergi bahagia dengan dia, ku kan terima kenyataan ini, walau terasa pahit akan ku kenang sendiri. ♫”

            Dinda mulai meneteskan air matanya dan aku pun menghentikan permainan gitarku.

”Din, kamu gapapa?” tanyaku.
”Gapapa kok Rev, hanya sedikit menghayati.” jawabnya.
”Ini...” ujarku sambil menjulurkan sebuah sapu tangan.
”Kamu jago banget yah main gitarnya.” pujinya.      
”Gak kok Din, hanya sekedar bisa saja.”

            Saat itu begitu menyenangkan, kenangan yang sangat romantis walau faktanya yang ada dalam fikiran Dinda saat itu bukan lah diriku. Aku selalu cemburu dengan semua laki-laki yang bisa mendapatkan hati Dinda, sungguh beruntung. Tapi, mengapa mereka semua tega menghianati Dinda?

            Ku kepal kedua tangan ku, ingin rasanya ku layangkan sebuah pukulan ke pipi lelaki sialan itu. Adi !! kau harus minta maaf sama Dinda. Aku sadar semakin aku sembunyikan kebenaran tentang perselingkuhan kak Adi yang hanya berjarak satu lantai dari kami ini, hanya akan membuat Dinda semakin sakit saat mengetahuinya.

”Din, ada yang ingin ku perlihatkan padamu.” Ujarku memecahkan lamunannya.
”Apa Rev?”
”Ayo... ikut aku.”
”Kemana?”
”Udah ikut saja, kau harus mengetahui kebenarannya.”
”Maksud kamu apa ?”
”Udah, ayo ikut aja.”

            Aku pun beranjak meninggalkan dia di belakangku, ku alihkan pandanganku ke belakang, dia mengikuti langkahku. Setiba di depan tangga, aku berhenti dan menatap ke arah Dinda.

”Din..”
”I..iya..” jawabnya.
”Siapkan hatimu.”
”Maksudnya?”

            Aku tak menjawab dan melanjutkan langkah ku menuruni tangga, dia terus berada di belakangku. Setibanya kami di lantai bawah, aku mencari sosok pria bertubuh tegap sedikit gemuk itu.

            Tidak ada, kemana dia? Ku cari dan ku cari lagi. ”Dia sudah pergi” fikirku. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, lelaki sialan itu keluar dari kamar mandi dan hendak menghampiri selingkuhannya yang sudah menunggu di depan pintu keluar.

”Din.. Lihat itu..!!!!” Ujar ku menunjuk ke arah kak Adi.
”Kak Adi, ngapain dia disini? Siapa wanita itu?”

            Dinda mulai mengepal tangannya dan berlari menuju tukang ojeknya itu. ”PLAKK !!!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi lelaki itu. Aku hanya melihat dari kejauhan Dinda menangis dan marah-marah kepada lelaki itu. ”PLAKK !!!” itu tamparan kedua dari wanita asing selingkuhan kak Adi. Sekarang ke adaan semakin rumit.

            Kak Adi ketangkap basah berselingkuh, Dinda terus menangis dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Apa yang mereka bicarakan? Tanyaku dalam hati. Dinda berlari menembus derasnya hujan, sekarang wanita asing itu mulai memaki kekasihnya itu.

            Melihat Dinda, refleks ku langsung berlari mengejarnya. Di depan pintu keluar aku berpapasan dengan lelaki sialan itu, sayang sekali aku harus menahan emosiku ketika berpapasan dengannya.

            Dinda masih berlari tanpa arah di tengah derasnya hujan, tubuhku sudah basah kuyup mengejarnya. Sampai akhirnya Dinda terjatuh di tengah jalan karena kelelahan berlari, ia menangis tapi aku tak bisa melihat air matanya karena di tutupi hujan.

Sebuah mobil berkecepatan tinggi menuju ke arahnya, mobil itu sudah membunyikan klaksonnya berulang kali, namun Dinda tak juga beranjak pergi dari tempat itu. Ia sibuk menangisi penghianatan kekasihnya.

”Dinda awas..!!! teriakku berlari ke arahnya.

            Dinda bangkit dan berdiri, melihat kearah kanannya sudah ada sebuah cahaya menyilaukan yang mengganggu pengelihatannya. Ku dorong tubuh mungilnya dan ia terpental ke seberang jalan.

            Sebuah hantaman keras mengenai bagian kanan tubuhku, waktu seakan berjalan lambat, aku melayang di udara dan pandanganku berputar-putar, kaca mata ku terlepas dan hilang entah kemana. Beberapa kali tubuh dan kepala ku menghantam aspal basah yang keras itu.

            Kesadaranku masih terjaga, rasa sakit memenuhi tubuhku, namun bagian belakang kepalaku lah yang paling sakit di antara yang lain. Aku sudah terbaring di aspal dingin dan melihat cairan merah mulai bersatu dengan air hujan di sekitar kepalaku.

            Dan.....

            Perlahan-lahan ku buka mata ini, sungguh berat rasanya. Remang-remang  ku lihat seorang wanita dengan mata yang begitu indah, berhiaskan jilbab ungu ada di hadapanku. Dia terlihat bahagia ketika aku terbangun.

”Kak Dinda!! Kak Dinda!! Kak Revin sadar.” Teriak wanita itu dengan kerasnya.

            Tiba-tiba seorang wanita cantik dari arah pintu berjalan tegesah-gesah ke arahku, dia tidak sendiri, ibu dan ayahku juga ada disana, begitu juga dengan Angga. Wanita itu menangis histeris dan ia menggenggam tangan ku.

”Maafin aku Rev...!!!” Ujarnya pilu.

            Aku bingung dan segera bertanya pada nya.

”Kamu ini siapa???”

0 komentar:

Posting Komentar