Hari
itu, aku hanya duduk termenung di sebuah caffe, ditemani sebuah kenangan yang
menjadi penghangat kesendirianku. Aku duduk di samping sebuah jendela, jendela
yang membawa pandanganku jauh kembali ke masa lalu.
Seperti
mesin waktu, jendela itu membawa ku pada sebuah moment romantis yang menjadi
kisah pahit dalam hidupku. Kau duduk disana, tepat berhadapan denganku, gelak
tawamu selalu menjadi melodi yang indah di telingaku.
Dulu
kita sering menghabiskan waktu bersama di tempat ini, setiap kali kau selalu memesan
menu dan memilih tempat yang sama. Sebuah
meja kaca bundar dengan dua kursi kayu elegan yang saling berhadapan.
Sempat aku bertanya
mengapa dirimu selalu memilih tempat ini menjadi pilihanmu? Namun kau hanya
menjawabnya dengan alasan singkat. Suka! kau memilih tempat ini karena kau
suka.
Mungkin itu jawaban yang
wajar bagi siapa saja, aku pun juga akan melakukan hal yang sama jika aku
menyukai sesuatu, yaitu memilih. Maka hari itu juga aku memilih dirimu dengan
alasan yang sama, yaitu suka.
Disana lah tempat pertama
kali kita bertemu, aku masih ingat saat itu kau mengenakan Short-dress warna
kuning dengan aksen biru di bagian lengan. Saat itu kau hanya duduk sendiri
merenung menghadap keluar jendela.
Aku tertarik melihat mu
yang selalu ada disana setiap kali aku berkunjung ke caffe ini, dengan sedikit
keberanian aku menghampirimu dan disanalah kita berkenalan. Aku masih ingat
dengan tulus saat itu kau bilang padaku bahwa aku telah menyelamatkanmu dari
hal yang selalu menghantuimu, yaitu kesepian.
Hari itu hanya ada dua hal
yang ada dalam fikiranku. Satu, aku berfikir agar waktu bisa melamban dan dua,
bisa gak moment ini selamanya? Saat itu pertama kalinya aku melihat mu tersenyum, dan hal itu merbuah
segalanya.
Sebelum moment itu
berakhir, kau melihat ke luar jendela dan berkata ”Sepertinya sebentar lagi
mau hujan.” dan tak lama setelah kau katakan itu, hujan pun turun. Aku masih
ingat diantara butiran-butiran hujan yang menghiasi jendela hari itu, aku sadar
bahwa aku jatuh cinta.
Setelah hari itu, keceriaan selalu menghiasi
kebersamaan kita. Sifatmu yang kekanak-kanakan nan lucu membuat suasana di
sekitar kita menjadi hangat. Namun itu dulu, saat kau masih duduk di depanku.
Kini angin berhembus membawa kesepian yang dulu kau
rasakan dalam hidupmu, tak lagi bisa aku merasakan hangatnya disisimu. Sepinya
hari yang ku lewati tanpa ada dirimu yang menemani. Sunyi kurasa dalam hatiku,
tak mampu aku melangkah meninggalkan sepercik kenangan terindah bersamamu.
Terbawa aku dalam sedihku,
tak sadar kini kau tak disini. Engkau masih yang terindah, indah dalam hatiku.
Mengapa kisah kita berakhir? Jika saja akulah Sang Penulis Naskah Kehidupan,
akan ku janjikan akhir bahagia untuk kita berdua.
Dulu, kau selalu berbisik
lirih di telingaku, menarik bajuku dan meminta ku untuk mengangkat tubuh
mungilmu. Setiap kali aku menolak kau selalu menggembungkan salah satu pipimu
dan memasang wajah cemberut. Aku tak pernah tahan menghadapi hal itu, kau selalu luluhkan aku dengan
sikap manjamu.
Sulit bagiku menjalani
semuanya tanpamu. Dulu setiap kali putus asa menyerang diriku, kau selalu ada
disisi untuk setia menjadi penyemangatku. Jika aku masih tak bisa bangkit, kau
selalu setia melengkapi kelemahanku. Membantuku merubah hal yang aku anggap tak
mungkin menjadi mungkin.
Dulu, saat hatiku
dibutakan oleh kecemburuan, karena melihat kedekatanmu dengan seseorang yang
tak pernah ku tau. Kau hanya diam mendengar kegelisahanku, kau merundukkan
kepalamu saat emosi menguasai diriku.
Air mata mu selalu mengalir saat itu. Hingga aku
sadar betapa bodohnya diriku !! Apa yang aku lakukan? aku membuat mu menangis.
Ingin sekali aku memukul diriku yang bodoh ini. Kegenggam kedua bahumu dan
menyesali semua perbuatanku.
Kau mengangkat wajahmu, butiran air itu masih
memenuhi mata indah di hadapanku. Aku tak melihat raut kekecewaan di sana, yang
ku dapati hanya sebuah senyuman berhiaskan air mata.
”Maafin aku yah.” katamu lirih
”Harusnya aku yang minta maaf.”
”Enggak, kamu gak salah kok. Aku yang salah! Aku kekanak-kanakan, aku sadar
betapa sayangnya kamu padaku. Sampai kamu melakukan ini semua.”
Aku hanya terdiam, lidahku membisu sesaat. Lalu
kau jinjitkan kaki-kaki kecilmu dan mengecup keningku. ”Sayang, maafin aku
yah.” begitulah yang kau ucapkan. Semua ingatan itu masih tersimpan jelas di
memori ku.
Aku rindu, aku rindu
kehadiranmu yang membawa kebahagiaan dalam hidupku. Kini dinginpun tak terasa,
mata ku kosong, air mata juga telah meninggalkanku, kesepian mengisi hati, aku
tidak merasa tersakiti lagi, aku mati rasa.
Aku tak tau kapan kau akan
memelukku lagi, masih kah kau ingat setiap kali aku menutup kedua matamu? kau
selalu tersenyum curiga. Kau peluk aku dengan lembut dan dengan manja kau
bilang ”Aku sayang kamu.”
Aku tak tau kapan aku bisa
menggendongmu kembali, masih kah kau ingat, kau selalu berusaha menutupi
kepalaku dengan tangan lembutmu disaat mentari tepat berada di atas kita, dan
disaat rinai hujan jatuh di pelupuk bumi yang kekeringan. Kau selalu lakukan
itu. Selalu dan selalu.
Aku tak tau, kapan aku
akan melihat wajah cemberutmu dan mendengar omelanmu lagi. Kau memintaku mensyukuri apa yang
diberikan tuhan hari ini. Jika aku lupa dan mengeluh, kedua alis mu bertemu dan
kau akan menarik bajuku seraya berbisik ”Jangan sombong yah sayang,..” selalu
begitu.
Kau sungguh baik, jika
saja bukan Dia pemisah di antara kita. Pasti aku akan melakukan apapun agar
bisa menemuimu kembali. Tapi inilah karya-Nya, Dia lah Sang Penulis Skenario
Dunia, semuanya, bahkan kita berdua hanyalah bagian kecil dari karya
Cipta-Nya.
Aku terlalu jauh hanyut
dalam buayan lembut kenangan masa lalu kita berdua. Kini kita sudah tak di
tempat yang sama, aku sadari itu. Segera aku beranjak meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu kisah kita
itu.
Ku palingkan wajahku
sejenak, melihat kearah tempat dua kursi kosong di samping jendela dengan kayu
bercat putih, terlihat kenangan indah disaat aku dan kamu tertawa bersama di
sana, jendela itu selalu menjadi background kisah cinta kita.
Terkadang jendela itu
menunjukkan pada kita bahwa dunia itu luas dan indah, namun terkadang jendela
itu di hiasi dengan butiran-butiran hujan yang membuatnya semakin menebal, dan
menghalangi pandangan kita.
Sama seperti jendela dunia
yang menjadi pemisah kita saat ini, mungkin suatu hari nanti jendela itu akan
mempertemukan kita kembali dalam satu dunia yang di sebut alam baka. Aku
menunggu saat itu tiba.
Aku pun beranjak pergi meninggalkan caffe itu. Kaki
ku pun melangkah hingga akhirnya aku tiba di sebuah pemakaman umum tempat
terakhir kali kita bertemu. Aku masih ingat hari itu.
Terhenyak aku bersama kesedihanku, aku hanya mampu
merundukkan kepala di hadapan gundukan tanah berhiaskan nisan putih di salah
satu ujungnya. Aku terkejut, saat ku dapati sekuntum bunga dengan sebuah foto
di atas makam lusuh itu.
Aku ingin meledakkan tangisanku saat itu juga,
tapi aku tak bisa !! Semua kenangan indah itu secepatkilat memenuhi pikiranku. Aku meninggalkan makam lusuh itu dan segera berlari secepat mungkin kembali ke caffe kenangan kita.
Dengan tergesah-gesah aku menerobos masuk ke dalam keramaian di dalamnya, namun tak ada satupun yang menghiraukan kehadiran ku. Tak satu pun mata tertuju padaku.
Dengan tergesah-gesah aku menerobos masuk ke dalam keramaian di dalamnya, namun tak ada satupun yang menghiraukan kehadiran ku. Tak satu pun mata tertuju padaku.
Segera aku menghampiri meja kaca di samping
jendela itu, ku dapati di hadapanku seorang gadis cantik termenung menatap
keluar jendela tanpa memperdulikan hiruk pikuk manusia di sekitarnya.
Ia menganakan Short-dress kuning dengan aksen biru
di lengannya. Ia duduk sendiri seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku ingin menangis dan memeluk tubuh mungil nya. Namun aku hanya mampu tersenyum
dan mengatakan hal yang tak mungkin ia dengarkan.
”Sayang... Terima kasih untuk bunga
dan fotonya, aku suka. Maafin aku yah, aku sudah tak bisa lagi berada disisimu.”
0 komentar:
Posting Komentar