Pagi ini,
kembali setitik kabut membius mata, mendengar kemarin kamu makan dengan
seseorang yang sayang pada mu, miris, nyinyir, hatiku mengetahuinya. Ingin aku
memelukmu dalam fatamorgana gila. Ah, sudahlah…. Hanya hayalan saja.
Taruhanpun aku
mau untuk membuktikan siapa yang lebih cinta? Dia atau aku? tak perlu ku sebut
namanya bukan? Cukuplah aku teriakkan dalam diamku betapa aku tulus
mencintaimu.
Tak sembarang
hati ku pijaki, aku telah berusaha melangkah perlahan bersama ketegaran, ku
lihat kamu di ujung harapan, tatapanmu tampak kosong dan tertahan. Kamu tak
pernah tahu bagaimana aku berlari meraihmu, kini langkahku perlahan mulai
mengayuh emosi, tak peduli nafas ini terengah-engah seperti mau mati.
Kamu adalah
kesan terindah yang ku miliki, kamu layaknya gadis yang ku jumpai pada
pandangan pertama, seperti kembali mengenal sosok gadis yang membuatku jatuh
cinta. Tapi kini kamu pergi, jauh dari jalan yang ku harapkan sekarang ini,
kamu lebih memilih melenceng melangkah menuju pertigaan yang buntu, sepi, tanpa
suasana bersama dirinya.
“Woii…. Ngelamun aja lo, galau yah
tau berita tentang dia?” teriak Deni mengagetkanku.
“Enggak, ah biasa aja..” ujarku
cuek.
“Bohong aja pande lo !!” Sahut
Riki dari belakang ku.
Mereka
berdua teman dekatku di kelas, sebenarnya ada satu orang lagi tapi tak terlihat
batang hidungnya hingga kini, aku duduk bersama Deni sementara Riki
duduk tepat di belakang kami bersama seorang lagi bernama Daka.
Unik
memang, nama kami memiliki inisial yang sama satu sama lain, RR dan DD. Bukan hal penting memang, tapi itu cukup unik bagi kami. Mereka
bertiga cukup dekat dengan seorang gadis yang ku cintai itu, mereka juga tau
seperti apa rasaku padanya.
Tapi
hanya satu orang saja yang bisa ku percaya menjadi tempat curhat yang setia.
Dia sahabat karib ku, Angga,
begitulah biasa aku menyapanya. Sebenarnya aku sempat sesak ketika mendengar
cerita darinya bahwa dia ternyata adalah pacar pertama Dinda. Tapi kini
hubungan mereka baik seperti teman biasa, bahkan kerap terlihat seperti kakak
adik.
Angga
sekelas dengan Dinda, rumah mereka juga terhitung cukup dekat, jadi wajar saja
jika memang mereka sempat memiliki hubungan. Tapi entah mengapa? aku percaya
pada dirinya sebagai orang yang setia menjadi tempatku berbagi rasa dan
bertukar cerita.
“Woi, Duck (Bebek) dari mana aja lo, lama amat datangnya” tegur Riki pada
Daka yang baru saja meletakkan tasnya di kursi kayu penuh coretan.
“Biasa, agak kesiangan tadi”
jawabnya lugas.
“Untung aja lo gak telat.” Sahut
ku.
“emang itu niatnya, biar dia ke
BK dan gak masuk pelajaran biologi” ujar Deni.
Kemudian
bell pun berbunyi, suara yang lebih mirip serine pamadam kebakaran itu pun
menjadi panggilan buat seorang pria setengah botak yang tak asing lagi adalah
guru biologi kami. Pelajaran pun dimulai, atau lebih tepatnya, lagu nina
bobo siap dinyanyikan.
Akhirnya
setelah bejuang selama berjam-jam menumpas semua pelajaran, bell tanda pulangpun
berbunyi juga. Aku segera keluar meninggalkan mereka bertiga, berdiri aku di
depan sebuah kelas yang ternyata masih ada guru didalamnya. Aku hendak mengajak
Angga ke toko buku menemaniku, walaupun aku tau akan bertemu dengan Dinda.
Melihat situasi itu, ku putuskan untuk duduk di kursi
beton di depan kelas mereka, akhirnya guru itu keluar juga. Satu persatu siswa
mulai keluar dari mulut pintu meninggalkan ruangan kelas itu. Hingga akhirnya
keluar seorang bidadari yang membuatku seakan melayang di angkasa ketika
melihatnya.
Sungguh indah
parasmu, menenangkan jiwa dan enak dipandang mata. Kamu melangkah pergi bersama
teman dekatmu tanpa melihat aku ada di belakangmu.
Kini aku berada
di belakangmu, satu langkah lebih dekat denganmu. Bisakah kamu rasakan aura
tubuhku? Yang aku tahu kamu tak pernah peka dan tak mau tahu. Entah apa yang
kau rasakan kini, seperti berpura-pura mati saat di dekatku. Berapa lama kamu
akan berpura-pura seperti ini? Menghisap dalam-dalam aroma tubuhku tapi kamu
pura-pura tak tahu di situ ada aku? Berapa lama kamu akan bertahan
membelakangiku seperti ini?
Ada cara lainkah agar aku
berhenti untuk berharap, berhenti untuk mengikuti setiap langkahmu? Dari balik
kacamataku ini, ku lihat mu perlahan pergi menghilang dari pandangan. Coba
lihat…kini bola mataku terlalu sempit untuk melihatmu, Kamu tahu??? Berapa lama
aku menunggumu seperti ini? Melihat wajahmu membuatku terluka, menemuimu adalah
tantangan terberat bagiku, karena tatapan matamu yang selalu mengajakku hijrah
menuju harapan gilaku.
Aku
tak pernah berhenti mengejarmu, meski disetiap detiknya kemesraanmu dengan
pacar mu itu terdengar lirih ditelingaku, membuat hatiku semakin hancur,
meremukan seluruh tubuh ini.
Kamu bak aroma
keindahan yang membuatku terus ketagihan meraihmu meski ku tahu… kini di
sampingmu telah ada Lelaki lain yang menemanimu. Caramu mencintainya membuatku
termakan rasa iri yang luar biasa gila. Huuh, andai saja aku diposisinya.
“Vin, ngelamun aja lo, ah..”
Tegur Angga yang membuyarkan tatapanku, hanya dia orang yang memanggilku dengan
ejaan belakang namaku, Revin.
“Oh ya… sorry, tadi aku melamun
ya?” jawabku dengan ekspresi wajah yang sedikit gugup sambil nenepuk-nepuk
kedua pipiku.
“Jangan terlalu dihayati
memandanginya, itu yang buat lo semakin gila mengejarnya.” Ujarnya menepuk
punggungku.
“iya, iya… lama-lama lo bawel
yah, kayak pacar gue aja jadinya”. Ledekku.
“idiih, dasar homo.. gak dapat
Dinda, jangan sampe serong juga dong.” Balasnya.
Kami
segera menuju parkiran, menjemput sepeda motor ku yang sudah setia menunggu
kehadiranku. Melantas kami keluar gerbang sekolah, dan ku lihat kamu dibonceng oleh
pacarmu seraya melambaikan tangan ke arah Angga, mungkin juga kearahku.
Sungguh
iri menggerogoti hatiku, aku juga ingin memboncengmu. Kehadirannya ketempat ini
adalah sebuah badai di hatiku namun itu adalah sebuah pelangi di hatimu.
Sebenarnya
kamu, hanya seorang gadis yang sederhana, bahkan sangat sederhana diantara
gadis lainnya, seragam putih abu-abumu telah menjadi saksi-saksi akan sosok
dirimu yg begitu sederhana.
Entah berapa
lama aku melihatmu dari kejauhan? Entah berapa lama pula aku kejar fatamorgana
cinta ini? Namun selama itulah kamu memberiku Cinta Semu.
Aku tidak bisa
berpikir jernih karena pikiran hanya terisi oleh sosok yang sangat aku kagumi.
tapi, kini arti kata “lama” itu begitu cepat dimakan oleh sang waktu kamu telah
melangkah, jauh dan jauh dari jangkauan ku.
Terlalu sering
mengeja namamu dalam anganku, melafalkannya didalam doaku, berapa banyak
telukis paras cantik dan manja dan menyimpannya dalam memori ku.
Saat ini, Aku
merasa seperti kurcaci kerdil yang bertemu puteri bungsu dari negeri nan jauh..
Hina dina, tak pantaslah manusia serigala membonceng si Cinderella.. Tak terpikir
sebelumnya kalau kita akan seperti sekarang...
“Woii, ayo jalan, jangan ngelamun aja lo. Jadi gak ke toko bukunya??” bentak Angga padaku.
“Eehhh… iya sorry lah”. Ujar ku
kaku.
“Udah ikhlasin aja dia, semakin
lo berharap semakin lo sakit.”
“Lo tau kan, aku udah mencoba itu sejak lama, tapi
tetap aja gak bisa”.
“Yaudahlah, sebenarnya aku juga
sangat mendukungmu jadian dengan dia, tapi yaudahlah. Beginilah sahabatku, tak
mau menyerah mengejar cintanya”
“Thanks, brother,….”
Ucapan
Angga menambahkan keyakinan pada diriku, seperti aliran semangat yang ia
transfer begitu saja melalui lidahnya. Ku tancap gas dan melaju seraya berkata
dalam hatiku.
“Dinda, Aku setia menunggumu!!”
0 komentar:
Posting Komentar