Kamis, 28 November 2013



Pagi ini, kembali setitik kabut membius mata, mendengar kemarin kamu makan dengan seseorang yang sayang pada mu, miris, nyinyir, hatiku mengetahuinya. Ingin aku memelukmu dalam fatamorgana gila. Ah, sudahlah…. Hanya hayalan saja.

Taruhanpun aku mau untuk membuktikan siapa yang lebih cinta? Dia atau aku? tak perlu ku sebut namanya bukan? Cukuplah aku teriakkan dalam diamku betapa aku tulus mencintaimu.

Tak sembarang hati ku pijaki, aku telah berusaha melangkah perlahan bersama ketegaran, ku lihat kamu di ujung harapan, tatapanmu tampak kosong dan tertahan. Kamu tak pernah tahu bagaimana aku berlari meraihmu, kini langkahku perlahan mulai mengayuh emosi, tak peduli nafas ini terengah-engah seperti mau mati.

Kamu adalah kesan terindah yang ku miliki, kamu layaknya gadis yang ku jumpai pada pandangan pertama, seperti kembali mengenal sosok gadis yang membuatku jatuh cinta. Tapi kini kamu pergi, jauh dari jalan yang ku harapkan sekarang ini, kamu lebih memilih melenceng melangkah menuju pertigaan yang buntu, sepi, tanpa suasana bersama dirinya.
“Woii…. Ngelamun aja lo, galau yah tau berita tentang dia?” teriak Deni mengagetkanku.
“Enggak, ah biasa aja..” ujarku cuek.
“Bohong aja pande lo !!” Sahut Riki dari belakang ku.

            Mereka berdua teman dekatku di kelas, sebenarnya ada satu orang lagi tapi tak terlihat batang hidungnya hingga kini, aku duduk bersama Deni sementara Riki duduk tepat di belakang kami bersama seorang lagi bernama Daka.

            Unik memang, nama kami memiliki inisial yang sama satu sama lain, RR dan DD. Bukan hal penting memang, tapi itu cukup unik bagi kami. Mereka bertiga cukup dekat dengan seorang gadis yang ku cintai itu, mereka juga tau seperti apa rasaku padanya.

            Tapi hanya satu orang saja yang bisa ku percaya menjadi tempat curhat yang setia. Dia sahabat karib ku, Angga, begitulah biasa aku menyapanya. Sebenarnya aku sempat sesak ketika mendengar cerita darinya bahwa dia ternyata adalah pacar pertama Dinda. Tapi kini hubungan mereka baik seperti teman biasa, bahkan kerap terlihat seperti kakak adik.

            Angga sekelas dengan Dinda, rumah mereka juga terhitung cukup dekat, jadi wajar saja jika memang mereka sempat memiliki hubungan. Tapi entah mengapa? aku percaya pada dirinya sebagai orang yang setia menjadi tempatku berbagi rasa dan bertukar cerita.
“Woi, Duck (Bebek) dari mana aja lo, lama amat datangnya” tegur Riki pada Daka yang baru saja meletakkan tasnya di kursi kayu penuh coretan.
“Biasa, agak kesiangan tadi” jawabnya lugas.
“Untung aja lo gak telat.” Sahut ku.
“emang itu niatnya, biar dia ke BK dan gak masuk pelajaran biologi” ujar Deni.

            Kemudian bell pun berbunyi, suara yang lebih mirip serine pamadam kebakaran itu pun menjadi panggilan buat seorang pria setengah botak yang tak asing lagi adalah guru biologi kami. Pelajaran pun dimulai, atau lebih tepatnya, lagu nina bobo siap dinyanyikan.

            Akhirnya setelah bejuang selama berjam-jam menumpas semua pelajaran, bell tanda pulangpun berbunyi juga. Aku segera keluar meninggalkan mereka bertiga, berdiri aku di depan sebuah kelas yang ternyata masih ada guru didalamnya. Aku hendak mengajak Angga ke toko buku menemaniku, walaupun aku tau akan bertemu dengan Dinda.
            Melihat situasi itu, ku putuskan untuk duduk di kursi beton di depan kelas mereka, akhirnya guru itu keluar juga. Satu persatu siswa mulai keluar dari mulut pintu meninggalkan ruangan kelas itu. Hingga akhirnya keluar seorang bidadari yang membuatku seakan melayang di angkasa ketika melihatnya.

Sungguh indah parasmu, menenangkan jiwa dan enak dipandang mata. Kamu melangkah pergi bersama teman dekatmu tanpa melihat aku ada di belakangmu. 

Kini aku berada di belakangmu, satu langkah lebih dekat denganmu. Bisakah kamu rasakan aura tubuhku? Yang aku tahu kamu tak pernah peka dan tak mau tahu. Entah apa yang kau rasakan kini, seperti berpura-pura mati saat di dekatku. Berapa lama kamu akan berpura-pura seperti ini? Menghisap dalam-dalam aroma tubuhku tapi kamu pura-pura tak tahu di situ ada aku? Berapa lama kamu akan bertahan membelakangiku seperti ini?


Ada cara lainkah agar aku berhenti untuk berharap, berhenti untuk mengikuti setiap langkahmu? Dari balik kacamataku ini, ku lihat mu perlahan pergi menghilang dari pandangan. Coba lihat…kini bola mataku terlalu sempit untuk melihatmu, Kamu tahu??? Berapa lama aku menunggumu seperti ini? Melihat wajahmu membuatku terluka, menemuimu adalah tantangan terberat bagiku, karena tatapan matamu yang selalu mengajakku hijrah menuju harapan gilaku.

            Aku tak pernah berhenti mengejarmu, meski disetiap detiknya kemesraanmu dengan pacar mu itu terdengar lirih ditelingaku, membuat hatiku semakin hancur, meremukan seluruh tubuh ini. 

Kamu bak aroma keindahan yang membuatku terus ketagihan meraihmu meski ku tahu… kini di sampingmu telah ada Lelaki lain yang menemanimu. Caramu mencintainya membuatku termakan rasa iri yang luar biasa gila. Huuh, andai saja aku diposisinya.
“Vin, ngelamun aja lo, ah..” Tegur Angga yang membuyarkan tatapanku, hanya dia orang yang memanggilku dengan ejaan belakang namaku, Revin.
“Oh ya… sorry, tadi aku melamun ya?” jawabku dengan ekspresi wajah yang sedikit gugup sambil nenepuk-nepuk kedua pipiku.
“Jangan terlalu dihayati memandanginya, itu yang buat lo semakin gila mengejarnya.” Ujarnya menepuk punggungku.
“iya, iya… lama-lama lo bawel yah, kayak pacar gue aja jadinya”. Ledekku.
“idiih, dasar homo.. gak dapat Dinda, jangan sampe serong juga dong.” Balasnya.

            Kami segera menuju parkiran, menjemput sepeda motor ku yang sudah setia menunggu kehadiranku. Melantas kami keluar gerbang sekolah, dan ku lihat kamu dibonceng oleh pacarmu seraya melambaikan tangan ke arah Angga, mungkin juga kearahku.

            Sungguh iri menggerogoti hatiku, aku juga ingin memboncengmu. Kehadirannya ketempat ini adalah sebuah badai di hatiku namun itu adalah sebuah pelangi di hatimu.

            Sebenarnya kamu, hanya seorang gadis yang sederhana, bahkan sangat sederhana diantara gadis lainnya, seragam putih abu-abumu telah menjadi saksi-saksi akan sosok dirimu yg begitu sederhana.

Entah berapa lama aku melihatmu dari kejauhan? Entah berapa lama pula aku kejar fatamorgana cinta ini? Namun selama itulah kamu memberiku Cinta Semu.

Aku tidak bisa berpikir jernih karena pikiran hanya terisi oleh sosok yang sangat aku kagumi. tapi, kini arti kata “lama” itu begitu cepat dimakan oleh sang waktu kamu telah melangkah, jauh dan jauh dari jangkauan ku.

Terlalu sering mengeja namamu dalam anganku, melafalkannya didalam doaku, berapa banyak telukis paras cantik dan manja dan menyimpannya dalam memori ku.

Saat ini, Aku merasa seperti kurcaci kerdil yang bertemu puteri bungsu dari negeri nan jauh.. Hina dina, tak pantaslah manusia serigala membonceng si Cinderella.. Tak terpikir sebelumnya kalau kita akan seperti sekarang...
“Woii, ayo jalan, jangan ngelamun aja lo. Jadi gak ke toko bukunya??” bentak Angga padaku.
“Eehhh… iya sorry lah”. Ujar ku kaku.
“Udah ikhlasin aja dia, semakin lo berharap semakin lo sakit.”
“Lo tau kan, aku udah mencoba itu sejak lama, tapi tetap aja gak bisa”.
“Yaudahlah, sebenarnya aku juga sangat mendukungmu jadian dengan dia, tapi yaudahlah. Beginilah sahabatku, tak mau menyerah mengejar cintanya”
“Thanks, brother,….” 

            Ucapan Angga menambahkan keyakinan pada diriku, seperti aliran semangat yang ia transfer begitu saja melalui lidahnya. Ku tancap gas dan melaju seraya berkata dalam hatiku.

“Dinda, Aku setia menunggumu!!”

0 komentar:

Posting Komentar