Minggu, 24 November 2013


Langkahku semakin kupercepat, kulihat sosoknya mulai menghilang dari keramaian siswa siswi pada jam pulang sekolah di siang yang mendung itu.

“Widya!”, teriakku.

            Sosok gadis manis, berkacamata, dengan hiasan pita merah dikepala itupun menoleh kearahku. Jantungku derdegup dan berhenti seketika, saat kulihat wajah bingungnya, dengan mulut yang agak menganga, menampakkan sedikit dari behel merah mudanya itu.

            Dia berhenti, dan itu yang kuharapkan. Kusiapkan senyuman terbaikku, sebagai menu pembuka pembicaraan hangat yang kuharapkan bersamanya. Aku berlari kecil, sambil berusaha merapikan rambutku yang sudah acak-acakan sebagai imbas dari pelajaran terakhir yang membosankan.

            Aku telah berada disebuah tempat yang jaraknya hanya sekitar satu meter darinya, dan itu membuatku gugup gak ketulungan. Sialnya, senyuman yang kulempar dari tadi, hanya dibalas dengan wajah datar khas cewe.

“Hai”, sapaku membuka pembicaraan.

“Hai”, jawabnya datar.

SMSku kok gak dibalas?”, kataku berusaha mencairkan suasana.

Kulihat dia tak menghiraukan perkataanku. Dia hanya diam, sembari menggerakkan jari-jari tangannya diatas layar tabletnya itu.

“Andai saja jarimu bisa menjawabku”, ungkapku dalam hati.

            Aku tak berhenti menatapnya. Wajahnya indah, indah sekali. Seperti air disaat hatiku terbakar, dia meredamku. Aku menunggu cukup lama, sampai aku sadar tak ada gunanya aku disini.

            Emosiku mengalahkan perasaanku. Dia mengontrol kakiku untuk segera mengambil jarak, menjauh dari sosok sialan itu. Aku mencintainya, dia tahu itu. Aku berpikir, tak cukupkah itu?

Aku meninggalkannya, meski tak secepat saat aku datang kepadanya, namun jauh lebih pasti. Aku berpikir aku bisa menarik sebuah kesimpulan, dia tak mencintaiku.

Sedih sih, tapi lega. Aku sadar bahwa aku harus buka mata, melihat ke yang lain, yang mungkin tak seindahnya, tapi bisa menerimaku seperti aku menerimanya.

Aku berjalan pulang, melamun, tersenyum, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi kepadaku. Seketika dunia kosong, hanya ada satu jalan, dan aku berada didalamnya, menuju sebuah tempat, yang kusebut itu kepastian.

“Aduh”, suara itu menarik rohku lagi yang melayang ntah kemana.

            Aku melihat Ana, terjatuh dengan seluruh buku-bukunya. Aku tak sadar, aku telah menabraknya. Kulihat dia berusaha menemukan kacamatanya. Dia kesulitan. Merasa bertanggungjawab, aku mengambilkan kacamatanya, memegang tangannya, membantunya berdiri, dan membukakan telapak tangannya, sembari meletakkan kacamatanya itu, dengan maksud memberikannya. Dia memakainya, dan kulihat wajahnya seperti terkejut, kemudian memerah tersipu malu melihatku.

            Aku tersenyum kearahnya. Kulihat wajahnya masih merah. Lama kami bertatapan, sampai dia tersadar bahwa bukunya masih berserakan dilantai koridor sekolah.

Dia bergegas menyusunya. Instingku sebagai seorang cowo pun, membuatku refleks turut membantunya. Itu membuat kami kembali terhanyut didalam suasana saling tatap. Dia berdiri, sembari membetulkan posisi kacamatanya yang agak sedikit miring. Aku juga menyusulnya berdiri, dan memberikannya buku yang kuambil dari lantai tersebut. Kami kembali melempar senyuman.

“Mau kuantar pulang?”, tanyaku membuka pembicaraan.

            Karena kupikir, tidak ada salahnya kan kalau dia kuantar, hitung-hitung permintaan maaf.

Dia hanya diam, bisa kulihat wajahnya semakin memerah saja. Memang, aku pernah mendengar bahwa dia menyukaiku. Kami dulu pernah akrab. Namun, setelah aku mengenal Widya, dia kulupakan. Dia pun juga seperti mencoba menjauhiku. Aku tak terlalu mempermasalahkannya, karena memang aku sedang tergila-gila sama Widya saat itu.

Melihatnya masih diam, aku langsung menarik tasnya, sambil tertawa kecil. Dia pun terkejut.

“Udahlah, yok!”, kataku.

            Kulihat dia mulai berjalan mengikutiku, aku melepaskan genggamanku pada tasnya. Aku berjalan ke parkiran. Sesekali aku menoleh kebelakang, dan aku masih melihatnya berjalan tepat dibelakangku.

            Aku berhenti ditempat dimana sepeda motorku kuparkirkan. Kulihat Widya berada didepan kelasnya, yang memang tak jauh dari parkiran tersebut, dengan wajah yang kecut, sekecut-kecutnya, memandang kearahku. Aku tak menghiraukannya.

Kugunakan helm hijau kesayanganku, kunaiki sepeda motorku, dan kuhidupkan. Aku mengangguk ke arah Ana, seolah mengisyaratkannya untuk segera naik. Dia kesulitan menaikinya, karena seluruh buku yang dia pegang, ditambah jokku yang memang agak tinggi. Kuraih bukunya, kubantu dia naik. Aku merasa menjadi cowo paling romantis saat itu. Setelah Ana terlihat siap, aku tancap gas, membuat dia refleks memelukku. Aku tersenyum. Aku meninggalkan sekolah dengan cepat, sebab aku tak punya waktu lagi untuk menoleh ke arah Widya dan melihat wajahnya yang selalu aneh saat menatapku.

Di jalan, aku menikmati angin yang mengibaskan kemeja sekolah longgarku itu. Sesekali kulihat Ana dari spionku, dia terlihat anggun, dengan rambutnya yang tergerai, dibawa angin.

            Kami tiba dirumahnya. Dia menawarkanku masuk, dan aku tak menolaknya. Aku duduk di sebuah kursi rotan di terasnya, tentunya setelah ia persilahkan duduk. Dia masuk ke rumah, rumahnya sedang  kosong saat itu. Dia meminta izinku, masuk kedalam sebentar untuk berganti pakaian.

            Tidak lama, dia keluar.

“Mau sirup?”, tanyanya.

            Aku terdiam seketika, melihat saat ini didepanku ada seorang wanita yang cantik sekali. Badan proposional dibalut kaos oblonk pink dan celana pendek putih, sangat indah dilihat. Rambutnya yang tergerai, dan wajahnya yang tak ternoda oleh kacamatanya lagi, membuatku tak menyangka, ini Ana yang selama ini kukenal.

“Halo?”, katanya dengan suara lembut yang menyadarkanku.

“Eh, iya. Boleh!”, jawabku kaget.

            Dia berlalu kedalam. Aku masih tercengang akan penampilannya tadi. Aku menyesal tak pernah melihatnya dan menaruhnya dihatiku selama ini. Coba saja aku sadar, mungkin aku telah melakukan banyak hal, merasakan banyak keindahan, dan menghadapi banyak keseruan didalam hubungan kami. Aku merasa menyesal, namun senang, seperti telah menemukan sebuah obat yang mampu mengeringkan luka sobekan dihatiku akan Widya.

Tiba-tiba, kurasakan ada suatu getaran dipahaku. Butuh waktu cukup lama, sampai aku sadar, itu hanyalah hp ku yang bergetar, menandakan ada sms yang masuk. Aku membukanya.

“Kelas XII IPS 4, di laci meja baris pertama dan kolom kedua dari pintu – Widya”

“Oh, dari Widya”, bisikku dalam hati.

            Aku tak terlalu menghiraukan sms itu. Aku lagi sangat bahagia, dan aku gak mau hal itu merusak kebahagiaanku itu.

Ana pun keluar, membawakan dua gelas sirup yang terlihat sangat segar. Dia juga membawakan cemilan teman bincang kami. Kami berbicara sangat lepas pada sore itu.

Sejak hari itu, hubunganku dengan Ana semakin akrab saja, bahkan mulai timbul niatku untuk mempertegas hubungan kami yang selama ini hanya sebatas itu aja. Dan Widya, dia telah berusaha kuanggap tak lebih dari mimpi kelamku saja. Sialnya, aku tak bisa.

Aku masih mencarinya, mencaritahu keberadaanya, kabarnya, sampai aku sadar, aku tak bisa lagi menemukannya. Aku khawatir. Aku kangen melihatnya, mendengar suaranya. Akupun mencoba menelponnya, tapi nomornya tak aktif.

Aku duduk disebuah bangku panjang didepan sebuah kelas. Sang langit mendung, seolah-olah ingin membuktikan keperkasaanya, menurunkan air hujan yang sangat deras. Suhu mendadak dingin. Bajuku mulai basah, karena rembesan air hujan tersebut. Tapi, aku tak peduli.

“Wid, kenapa kau kok menghilang tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku?”

            Sekilas aku menoleh ke plang kelas. Disitu dituliskan, “XII IPS 4”. Aku langsung teringat ke sms yang telah menjadi sms terakhrir Widya. Kubuka kembali sms itu.

“Kelas XII IPS 4, di laci meja baris pertama dan kolom kedua dari pintu – Widya”

            Aku mengikutinya, dan kudapatlah sebuah kertas putih, digulung dengan pita merah.

“Widya?”, gumamku.

            Aku mebukanya perlahan, dan membacanya.

Kau adalah orang yang akan kucintai
Dan aku, hanyalah orang yang telah kau cintai
Tak masalah bagiku, dan tak ada juga kewajiban bagimu
Namun, tak bisakah kau sedikit lagi lebih membuatku yakin,
Akan hadirnya dirimu, yang bagiku terkesan mendadak?

Aku makhluk berperasaan lemah, kenapa kau tidak menguatkanku?
Kenapa aku merasa, kau justru semakin melemahkanku?

Kau tahu? Belum pernah aku jatuh kedalam cinta
Sebelum aku mengenalmu…

Tapi jika aku bisa memeilih, lebih baik aku tak pernah jatuh kedalamnya
Karena itu sakit, lebih sakit dari sakit yang harus kulawan saat ini,
Sakit yang bahkan kau saja tak mengetahuinya

Aku diam, bukan berarti aku tak suka kau mendekatiku
Hanya saja, aku takut, bingung, bimbang, dan kau tak ada disaat aku merasakan semua itu

Kau berani mengatakan bahwa kau mencintaiku,
Namun kau terlalu takut untuk membuktikannya

 Yah, yang namanya segala sesuatu didunia ini, pasti memiliki waktu
Tak bisa disalahkan, waktuku tak lama lagi, dan aku telah siap jika sudah itu ketentuannya

Hanya supaya kau tahu,
Aku berharap bisa mengingat wajahmu disaat aku mengambil nafasku,
Dan melihat wajahmu disaat aku memejamkan mataku
Untuk yang terakhir

Widya

            Aku tak mampu membendung air mataku. Aku mengambil tasku, berlari menerobos hujan yang masih deras. Ditengah jalan, aku terhenti. Aku berpikir sejenak. Betapa tak layaknya aku menjadi seorang manusia, yang bahkan dalam hal cinta saja, aku tak bisa memberikan apa yang terbaik yang seharusnya bisa kuberikan.

            Aku mulai mengambil langkah kecil.

“Widya, Widya, widya”, isakku dalam hati.

            Aku masih tak mampu menahan air mataku, meski derasnya air hujan ini akan senantiasa menutupinya.


0 komentar:

Posting Komentar