Kamis, 28 November 2013

         Pasir putih menjadi saksi hilangnya dua pasang jejak kaki yang melangkah di tengah desir ombak yang perlahan menghapusnya dengan lembut. Dengan mesranya angin membelai tubuh ini disaat terbenamnya sang surya di ujung sana.
          Aku berjalan menggenggam tanganmu, serasa ini hanya mimpi yang menjadi sebuah kenyataan. Dengan indahnya jilbab putihmu berkibar lembut menghiasi senyuman yang keluar dari wajahmu.
Dinda, aku mencintaimu”. Ujarku menatap matanya dalam-dalam.

            Dia membetulkan posisi jilbabnya yang sedikit berantakan karena imbas dari angin nakal yang dari tadi lancang sekali membelai wajah indahnya.

            Seketika ia menatapku, tatapan itu sangat tajam namun begitu menghanyutkan, karena tajamnya jantung ku berdebar dengan cepatnya. Kedua alisnya mulai bertemu dan Perlahan ia melepaskan genggaman tanganku, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Oh my god!! Dia ingin menciumku” teriakku dalam hati, jantungku tak karuan semakin membuat ku gugup
“PLAKK!!” Sebuah tamparan yang membangunkanku dari mimpi gila-gilaan itu.

Kini aku terbangun dari kelamnya mimpi kelabu yang menghiasi malamku, hayalan, hahaha.... semua hanya lah hayalan ku semata, mana mungkin aku bisa menggenggam tanganmu. Itu mustahil !!

            Ku nyalakan DVD dan ku putar sebuah lagu yang kerap kali membuatku terhanyut dalam setiap bait liriknya. Aku telah tertidur panjang dalam fatamorgana sejak pertama kali mengagumimu, seribu detik tak pernah berakhir, lintasan air mata sering menggores perih pipi ini, bukan karena terluka, mungkin karena melihat kau bahagia.

            Kini kamu seperti hal yang mustahil untuk ku raba, semakin jauh celah diantara kita, mengingat bahwa kau sudah menjadi miliknya. Hingga aku dan perasaanku kini hanya bisa melihatmu dari kejauhan yang tak dapat di jangkau mata.

           Aku tak bisa munafik, aku kecewa dengan kenyataan ini, tapi mungkin ini yang sudah digariskan untukku. Hanya bisa mengagumimu sebagai fatamorgana indah.

           Bagiku waktu ini tetap pagi meski jam terus berputar hingga datang senja dan gelap…rasanya tak kurasakan adanya malam saat memikirkanmu, tak pernah ku rasakan tubuh ini lelah ataupun mata ini butuh untuk terpejam. Menanti cintamu bagaikan waktu yang tiada habisnya bagi diriku.

            Aku masih ingat, ketika pertama melihatmu.. hanya tersenyum, dan sepintas lalu.. sebelum aku melihatmu, hatiku sudah tertarik terlebih dahulu lebih cepat dari mataku. Entah, alasan apa itu bisa terjadi.

Namun waktu mengiringiku hingga bisa mengenal dan menjadi teman mu, masih ku ingat ketika kau cerita tentang mantan kekasihmu yang tega meninggalkanmu demi yang lain.

            Gila!!! Manusia sebodoh apa dia? Rela meninggalkan gadis seperti dirimu, hanya demi gadis yang biasa saja. Apa dia buta? Gak bisa melihat jelas perbedaan diantara kalian?

            Sungguh, sebenarnya saat itu dua rasa berpadu dalam hatiku. Bahagia melihatmu kini telah bebas dari dirinya, dan sedih karena melihat paras cantikmu ternoda air mata. Aku mencoba menghiburmu, yang bisa ku lakukan hanya menjadi tempat curhat biasa bagimu.

            Aku mendengarkan setiap curahan hatimu, tapi diam-diam ku lirik dan ku kagumi keanggunan dari dirimu. Ku coba membuatmu bangkit melupakannya, ku yakinkan pada dirimu bahwa masih ada yang lebih darinya. Namun apa daya, mana mungkin aku berkata kalau akulah orang nya.

           Teringat aku akan sebuah lagu cinta di daftar lagu dalam handphone ku. Ku putar dan ku dengarkan dengan seksama sebuah lirik dibagian reff-nya

Ku kan mencoba, berbesar hati.
Melepas kau pergi, bahagia dengan dia.
Ku terima kenyataan ini.
Walau terasa pahit, akan ku pendam sendiri.

Yah, ternyata benar lagu ini mirip dengan kisah mu dan ku harap lagu ini menyampaikan pesan padamu, untuk bisa berbesar hati melepas kepergiannya. Entah ada angin apa aku memintamu mendengarkan lagu itu, ku kirimkan ke handphone mu dan kau mulai terhanyut dalam tiap lirik yang kau dengarkan.

              Aku memandangimu diam, kau diam bersandar pada sebuah penopang dingin berwarna biru dengan earphone yang kau pasang ke telinga dibalik jilbab putihmu. Raut wajah mu mulai berubah, matamu mulai berkaca, seperti yang ku duga, lagu itu menyayat di jiwa. Perlahan ku lihat bulir-bulir bening menetes dari kelopak matamu, aku hanya bisa diam melihatmu galau dengan segala masalah hatimu.

            Aku mencoba menggodamu, sedikit lecehan yang membuat sebuah senyuman terlukis dibibirmu, kau usap air mata itu dan kembali kau hayati setiap bagian dari lagu yang ku kirim padamu.

            Tapi itu sudah lama sekali, sejak aku hanya menjadi seseorang yang mengamatimu dari tempat yang kau tak tau. Semua karena kesalahanku, kesalahan yang membuatku canggung padamu. Hingga akhirnya kini aku tak lagi bisa sedekat dulu dengan dirimu.

            Entah mengapa, aku mengungkapkannya? Dan aku tau itu disaat yang tak tepat. Disaat kau belum bisa melupakan bayangannya dalam hidupmu, dan saat seorang cowo baru datang dan mulai membantumu menghapus ingatan tentang dirinya.

            Aku tau kau akan menolak pernyataan cintaku, tapi itu tak membuat asa dalam hatiku padam semudah lilin ditiup angin. Aku sudah meyakinkan dalam hatiku, bahwa mungkin kau tak pernah mencintaiku. Tapi entah mengapa lidah ini memaksa untuk bicara?

               Resah, gelisah, semua itu yang aku rasa selama memendam hasrat di dada. Ku paksa untuk diam namun gagal aku mencoba. Hingga akhirnya aku mengucapkan semua rasa dan tentu kau menolaknya seperti yang ku duga.

                  Sungguh ironis, aku berharap akulah orang yang menggantikan mantan kekasihmu itu, tapi ternyata tuhan berkata beda. Dia mempertemukanmu dengan seorang yang istimewa, aku pun sadar aku bukan saingannya. Melihatmu bisa kembali ceria, pasti dia adalah orang yang luar biasa. Pasti sungguh luar biasa!!

“Revin, cepat udah jam setengah 7 nanti kamu terlambat!!” teriak ibuku menggedor pintu kamar.
“iya bu, bentar lagi.” Sahutku.

            Tanpa sadar, ternyata lagu yang sekedar ku putar itu mengingatkan ku kembali dengan semua kisah yang lalu dalam hidupku. Tragis mungkin, tapi inilah aku dengan perasaan yang masih ada dalam hatiku.

          Lagu itu masih terus terdengar di ruang kamarku, setiap lirik sangat menyayat hatiku. Terutama reff-nya yang begitu luarbiasa, yang hingga kini ku jadikan keyakinan dalam hatiku untuk menerima kepergiannya dengan orang lain yang bisa membuatnya bahagia.
“Ku kan mencoba berbesar hati, melepas kau pergi bahagia dengan dia….” Ku nyanyikan setiap kata dalam lagu itu yang perlahan membuat air mata ku menetes melintasi pipiku.
          
   Perlahan melodi lagu itu menghilang dari jangkauan telingaku, dan segera ku tarik nafas ini dan berkata “Din, aku mencintaimu”.

            Setelah usai terhayut dalam alunan yang membuai jiwa, segera aku membereskan diriku yang berantakan. Seperti artis papan atas aku nyanyikan lagu itu sebagai iringan ku dalam membasuh tubuh ini. Mungkin kamu akan tertawa terbahak-bahak jika kamu tau aku melakukan semua ini karena mengingatnya.
            
               Usai mandi, segera ku kenakan seragam tempurku untuk menghadapi semua pelajaran yang sangat membosankan hari ini, bayangkan saja!! 4 les pelajaran biologi dengan guru yang cara mengajarnya membuatku ingin memejamkan mata.

“Bu, aku berangkat!!” teriakku yang sedang memakai helm.
“Sarapan dulu!!” sahut ibu ku.
“ntar disekolah aja,…. Kalau ingat.”
     
       Berangkat aku dengan sepeda motorku yang selalu setia menemaniku kemanapun aku ingin pergi. Tak lupa ku nyanyikan lagu itu diperjalanan sebagai media ungkapan perasaan yang begitu rumit didiskripsikan.

           
            Aku masih tetap melihat fatamorgana yang begitu indahnya membentang di pelupuk mata. Perasaan ku padamu sungguh begitu besarnya, aku tak berbicara tentang cinta sejati, namun aku berbicara tentang Cinta Semu yang selalu aku harapkan darimu dan aku sebut itu dengan fatamorgana cinta

            Lagu yang dulu ku kirimkan padamu, kini menjadi lagu yang sungguh tepat untukku. Hingga kini!! Lagu itu terasa menjadi ironi yang bersembunyi dibalik ironi.

            Aku berdiri tegar menatap terbitnya sang mentari yang jauh dari genggamanku. Inilah aku yang tetap mempertahankan rasaku, berharap suatu hari nanti dapat menggengam tangan mu sebagai sang mentari yang menjadi penerang dalam hidup ku.


Dinda, Aku setia menunggumu!!”

0 komentar:

Posting Komentar